KOMPAS.com - Beberapa waktu lalu, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) Nadiem Makarim pernah menyampaikan tiga dosa besar di dunia pendidikan.
Yaitu intoleransi, perundungan dan kekerasan seksual. Peristiwa pelecehan seksual bisa terjadi dimana saja, termasuk di lingkungan kampus.
Meski berada di lingkungan akademik, pelecehan seksual terhadap mahasiswa masih seringkali terjadi. Sayangnya hal ini belum mendapatkan perhatian serta penanganan yang semestinya.
Pakar Antropologi Ragawi, Gender, dan Seksualitas Universitas Airlangga (Unair) Prof. Myrtati Dyah Artaria mengungkapkan, persepsi yang salah terhadap korban pelecehan seksual serta rendahnya komitmen kampus semakin memperkeruh upaya pencegahan aksi kejahatan tersebut.
"Ada pengaruh budaya sangat besar yang membentuk persepsi dan berpotensi mendorong pada pelecehan seksual. Ada yang menganggap perhatian secara seksual adalah pujian," kata Prof. Myrtati seperti dikutip dari laman Unair, Sabtu (10/7/2021).
Ada persepsi buruk yang harus diberantas
Selain itu juga ada pengaruh budaya yang menganggap normal seseorang saat menikmati keindahan tubuh orang lain di jalan sambil mengeluarkan ujaran bernuasa sensual.
Dia menyampaikan, persepsi buruk lain yang harus diberantas adalah anggapan seseorang dilecehkan karena pakaian yang mengundang atau perilakunya membuat layak mengalami pelecehan.
"Padahal siapapun dan bagaimanapun mereka, perempuan atau lelaki, tidak layak untuk mengalami hal demikian," imbuhnya.
Prof. Myrtati menggarisbawahi bagaimana pelecehan seksual di ranah kampus dapat terjadi dalam berbagai bentuk dan jenis. Dia menuturkan, setidaknya ada 13 tipe pelecehan yang harus diketahui dan dipahami agar dapat menghindarinya.
Tipe-tipe pelecehan
Tipe-tipe pelecehan tersebut, yakni:
Upaya pencegahan
Untuk mencegah pelecehan di lingkungan kampus, Prof. Myrtati mengimbau agar institusi kampus memiliki kebijakan yang jelas untuk mencegah dan menanggulangi masalah pelecehan seksual.
Selain itu, pelaporan tindakan pelecehan seksual harus dibarengi dengan penyidikan, konseling psikologis, dan pendampingan untuk mengatasi stres pada penyintasnya.
Prof. Myrtati menambahkan, perlindungan terhadap korban harus turut menjadi prioritas bersama. "Penyintas berpotensi kembali menjadi korban. Entah dari pelaku yang ingin balas dendam atau oknum-oknum lain yang ada di lingkungannya," terangnya.
Perlindungan terhadap korban
Ia menyoroti banyaknya institusi yang urung berkomitmen pada upaya perlindungan korban karena berusaha melindungi nama baik dan reputasinya.
"Akibatnya, sering terjadi kasus tekanan untuk keluar dari institusi, pemutusan beasiswa, nilai yang buruk, teror, hingga perlakuan yang buruk secara sistemik yang menimpa penyintas," kata dia.
Prof. Myrtati berharap agar institusi pendidikan mampu berkomitmen pada kebijakan dan tindakan pencegahan pelecehan seksual maupun perlindungan bagi penyintas.
"Penyintas harus segera mendapat konseling dan pendampingan. Lakukan terapi stress-management, cognitive-behavioral, serta memberikan dukungan dari keluarga maupun para sahabatnya," pungkasnya.
https://edukasi.kompas.com/read/2021/07/10/170143471/pakar-unair-ungkap-strategi-cegah-pelecehan-seksual-pada-mahasiswa