Penulis: Udjie Kayank, Redaksi KPG
KOMPAS.com - Mahfud Ikhwan mulai dikenal pembaca sastra Indonesia saat novelnya, Kambing dan Hujan, memenangkan Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2014. Setelah itu, ia menerbitkan kembali edisi revisi novel debutnya, Ulid (2016), dan kumpulan cerpen Belajar Mencintai Kambing (2016).
Tahun berikutnya, Mahfud meraih Kusala Sastra Khatulistiwa 2017 melalui novel Dawuk: Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu (2017). Awal tahun ini, sekuel Dawuk terbit dengan judul Anwar Tohari Mencari Mati.
Kemudian, bersama Abidah B. Setyowati, Darmanto menulis Berebut Hutan Siberut: Orang Mentawai, Kekuasaan, dan Politik Ekologi, yang diterbitkan Kepustakaan Populer Gramedia pada 2012.
Namun kali ini, Mahfud dan Darmanto yang sama-sama menggilai sepak bola sejak usia mereka yang ke-15, semakin menseriusi dunia bola.
Mahfud bahkan menerbitkan beberapa kumpulan buku esai sepak bola, dan Darmanto pun demikian, ia menulis Tamasya Bola: Cinta, Gairah, dan Luka dalam Sepakbola (2016).
Pada 2010, mereka memulai blog Belakang Gawang sebagai medium penulisan esai-esai sepak bola.
Sejak itu, Belakang Gawang menjadi ikon dan tolak ukur bagi penulisan esai sepak bola hari ini, yang ditulis oleh generasi lebih muda dan coraknya berbeda dari para esais sepak bola pendahulu mereka, misalnya Sindhunata. Darmanto dan Mahfud pun dikenal sebagai duo legendaris dalam penulisan esai jenis ini.
Kini duo legendaris itu kembali, dan tidak sendiri-sendiri lagi melainkan bersama dalam buku kumpulan esai sepak bola Dari Belakang Gawang, terbit di Kepustakaan Populer Gramedia pada 7 Juli 2021.
Judul buku sudah menyiratkan kesan nostalgis oleh karena di Belakang Gawang-lah dulu mereka bertemu kembali setelah sekian lama, dan setelah sekian lama yang berikutnya, mereka tahu di mana rendezvous itu.
Dari Belakang Gawang berisi esai-esai Darmanto dan Mahfud yang berfokus pada persoalan sepak bola negara-negara dunia. Mereka berdua menyorot tiga kompetisi internasional terbesar, yakni Piala Dunia, Euro atau Piala Eropa, dan Copa America. Di dalamnya, tentu saja banyak bahasan menarik tentang timnas-timnas peserta kompetisi-kompetisi itu.
Jerman, misalnya. Timnas berjulukan Der Panzer itu mengalami perkembangan menarik seiring zaman, yang sebetulnya malah menjadikan kita bertanya-tanya apakah masih pantas julukan itu mereka sandang? Der Panzer mengesankan kekuatan fisik nan prima, permainan kaku dan sistematis, serta semangat militeristik.
Jerman tampil seperti sepasukan tentara yang bersiap menaklukkan lawan, dengan berbagai kualitas itu dan tidak lupa mental Jerman-nya.
Namun, Mesut Özil, pemain Jerman keturunan Turki, muncul sebagai pembeda. Tubuhnya sama sekali tidak kekar, terkesan ringkih malah. Kecepatan dan keteraturan permainan jelas tidak ada dalam dirinya. Ia sering mengirim umpan nyeleneh, yang tidak terduga-duga, dan tentu saja meleset dari gaya permainan kaku dan sistematis.
Özil mengubah Jerman dari yang sebelumnya tampak membosankan menjadi lebih enak ditonton. Özil pula yang menggoda Mahfud, yang tidak mau mendukung Jerman, untuk mempertimbangkan kembali sikapnya.
Seperti Mahfud, Darmanto pun bukan pendukung Jerman, tetapi ia cukup banyak menulis tentangnya. Sekali waktu, Darmanto mengulas partisipasi Jerman dalam Piala Eropa 2012 dengan analisis geopolitik yang menakjubkan. Kali lain ia mempertanyakan pandangan esensialis tentang mental Jerman lewat telaah historis atas perkembangan ilmu eugenetika yang memicu dosa sejarah mereka: Nazisme.
Terlepas dari keengganan Darmanto dan Mahfud mendukungnya, mereka sepakat Jerman sering menjadi kandidat kuat juara, berbeda dari, maaf, Belanda. Bukan hanya Belanda, Inggris juga negara yang kerap mereka ragukan, sekalipun kini diperkuat oleh generasi emasnya.
Mahfud sebetulnya menyangkal bahwa sepak bola akan pulang ke kampung halamannya. Bahkan tidak berhenti di situ, Mahfud juga menyangkal klaim pulang itu sendiri. Sebagai cabang olah raga, sepak bola memang ditemukan oleh orang Inggris. Namun, dalam perkembangannya, ia menjadi permainan yang digemari oleh orang-orang di seluruh dunia, dan menebalkan identitasnya di tiap-tiap negara.
Sepak bola sudah bukan lagi milik Inggris, dan sudah tidak (hanya) berumah di Inggris. Tak peduli ia dimainkan oleh bapak-bapak mungil dari Argentina, pria dengan follower Instagram terbanyak di dunia, atau lelaki Brazil selengekan yang hobi terjatuh di lapangan, sepak bola juga milik kita, dan akan selalu menjadi cabang olahraga yang kita cintai.
Oleh karena sepak bola dicintai, maka Darmanto dan Mahfud barangkali yakin, sepak bola pun senantiasa layak diperbincangkan. Saudara-saudara, kini saatnya menyambut kembali Darmanto Simaepa dan Mahfud Ikhwan, Dari Belakang Gawang.
Penasaran? Cek di sini: https://www.gramedia.com/products/dari-belakang-gawang
https://edukasi.kompas.com/read/2021/07/27/130000371/dari-belakang-gawang-nostalgia-dunia-bola