Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Riset: Budaya Membaca Latih Anak Berempati dan Kelola Emosi

KOMPAS.com - Meski dunia masih dilanda pandemi dan ada keterbatasan interaksi, masih ada banyak cara yang bisa dilakukan orangtua untuk mengasah kemampuan anak untuk berempati dan mengelola emosi.

Riset Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) 2020, menemukan bahwa anak usia lima tahun yang dibacakan buku oleh orang tuanya, punya kemampuan empati dan prososial serta mampu mengatur emosi lebih tinggi dibandingkan anak di kelompok usia yang sama tetapi tidak dibacakan buku.

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) mengajak orangtua dan guru untuk menghadirkan pembelajaran yang sarat dengan aktivitas literasi selama pandemi.

Menjadikan lingkungan anak kaya akan keaksaraan dengan ragam media yang kaya teks dan gambar untuk memperkaya pemahaman anak tentang dunia.

Salah satunya adalah dengan membacakan buku pada anak, karena sudah banyak penelitian yang menemukan manfaat membacakan buku untuk anak.

Literasi, bukan sekadar calistung

Pakar literasi, Sofie Dewayani, menegaskan bahwa literasi bukanlah hanya baca, tulis, dan hitung (calistung).

“Tentunya, buku bacaan harus sesuai umur anak, serta punya gambar dan cerita imajinatif. Ini supaya anak bisa berkelana di dunia imajinasi sekaligus membangun minat baca mereka, supaya mereka menjadi pembelajar sepanjang hayat,” tegas Sofie seperti dirangkum dari laman GTK Kemendikbud Ristek, Selasa (27/7/2021).

Senada dengan itu, Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI), psikolog, pembawa acara anak, dan pemilik sekolah Homeschooling Kak Seto, Seto Mulyadi, menekankan bahwa literasi bukanlah sekadar calistung.

“Literasi adalah memaknai membaca situasi, bagaimana berkomunikasi, bergaul, menghormati dan menghargai, untuk membentuk karakter Pelajar Pancasila, misalnya, bagaimana bekerja sama dengan kakak, adik, dan orang tua di rumah, gotong-royong, mandiri, dan kreatif,” tutur Kak Seto.

Sementara itu, Kepala Sekolah PAUD Nurul Qolbu Bogor, Kiswanti mengatakan bahwa banyak membaca pada anak menumbuhkan empati.

Ia pun membagikan ilmu yang penting bagi anak PAUD selain membaca.

“Kami juga menyarankan anak-anak belajar menggunting, tentunya dengan pengawasan. Ajarkan anak memisahkan kertas yang sudah digunting berdasarkan bentuk. yang jelas, orang tua tidak hanya sekadar menyuruh anak belajar, tapi harus juga terlibat mengajar dan jadi teladan pembelajaran sepanjang hidup,” terang Kiswanti.

Membacakan dengan suara nyaring

Orang tua anak usia dini sekaligus Pegiat Membaca Nyaring (Read Aloud), I Gusti Ngurah Pandu Wijaya mengatakan bahwa hadiah paling berharga adalah ketika putrinya, Carita, tumbuh mencintai buku.

Sebagai ayah, Ia membiasakan diri membacakan buku pada Carita dengan suara nyaring (reading aloud).

Teknik ini lazim digunakan serta bermanfaat mendorong konsentrasi, imajinasi, perkembangan bahasa, sekaligus mendekatkan anak dengan orang tua.

“Apapun yang kita ceritakan, Carita mulai muncul rasa ingin tahu dan bertanya. Kami buatkan sudut rak buku dengan ornamen-ornamen hewan, warna-warna cerah, sehingga menarik. Kami lengkapi juga dengan aktivitas menyenangkan yang berkembang dari buku bacaan, agar proses membacanya juga jadi menyenangkan,” jelas Pandu yang mengakui ia bergantian membacakan buku bagi buah hati dengan istrinya.

“Carita suka gambar, jadi saya gambarkan hewan di buku cerita. Harapan kami, anak-anak jika diberikan kebiasaan membaca konsisten, difasilitasi, dan menyenangkan, pasti ada manfaat luar biasa bagi tumbuh kembangnya,” pungkas Pandu.

Budaya baca dibangun oleh orangtua

Bunda PAUD dan Istri Gubernur Jawa Barat, Atalia Praratya Ridwan Kamil, mengungkapkan bahwa Jawa Barat ingin memunculkan solusi yang menjawab masalah dari akarnya.

“Kita tahu bahwa Indonesia masih punya masalah indeks membaca dan 80 persen provinsi di Indonesia darurat literasi karena minimnya akses,” jelas Atalia.

Diakuinya, Jawa Barat mencari solusi agar sumber bacaan mudah diakses masyarakat, yang kemudian dijawab dengan munculnya inovasi Kotak Literasi Cerdas (Kolecer).

“Kami menghadirkan Kolecer di tempat-tempat yang dilewati banyak orang, misalnya pelataran masjid, taman-taman, dan kantor. Jadi, masyarakat bisa dengan mudah mendapat akses bacaan,” jelas Atalia.

Dirinya juga menyoroti minimnya kunjungan masyarakat ke perpustakaan akibat akses sulit, yaitu ada pada angka 23,09 persen (Balitbang dan Perbukuan Kemendikbudristek).

Selain itu, data Kementerian Komunikasi dan Informatika juga menemukan bahwa masyarakat Indonesia lebih suka membaca dari gawai, dan masyarakat juga lebih suka membuka media sosial dibandingkan membaca buku.

Oleh karenanya, Provinsi Jawa Barat berinovasi dengan perpustakaan digital yang di dalamnya terdapat ribuan buku elektronik, bernama Maca Dina Digital Library (Candil).

“Ini pakai Bahasa Sunda, supaya orang mudah mengenalinya,” jelas Atalia.

Dirinya juga menilai bahwa literasi keluarga di rumah sangat didorong pemerintah provinsi Jawa Barat.

“Kami menguatkan kolaborasi dengan pegiat literasi di masyarakat, duta-duta baca kami di 27 kabupaten/ kota. Ini tidak mudah, karena kita sambil berjuang melawan pandemi,” ungkap Atalia.

Namun, Ia juga menegaskan perlunya teladan orang tua dalam berliterasi.

“Anak adalah peniru ulung. Budaya literasi dan gemar membaca bisa dibangun karena mereka melihat lingkungan, termasuk orang tua. Kalau orang tua suka baca, anak akan meniru,” jelas Atalia.

https://edukasi.kompas.com/read/2021/07/27/153000671/riset--budaya-membaca-latih-anak-berempati-dan-kelola-emosi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke