Penulis : Teguh Afandi | Editor Bidang Sastra Gramedia Pustaka Utama
KOMPAS.com - “Perempuan Bali itu, Luh, perempuan yang tidak terbiasa mengeluarkan keluhan. Hanya dengan cara itu mereka sadar dan tahu bahwa mereka masih hidup, dan harus tetap hidup. Keringat mereka adalah api. Dari keringat itulah asap dapur bisa tetap terjaga. Mereka tidak hanya menyusui anak yang lahir dari tubuh mereka. Mereka pun menyusui laki-laki. Menyusui hidup itu sendiri,"
Penggalan percakapan ini, ada di novel terbaru Oka Rusmini, Tarian Bumi. Tidak terasa, Tarian Bumi akan berusia lebih dari dua dekade di tahun ini.
Novel yang semula terbit sebagai cerita bersambung di Harian Republika ini kemudian terbit sebagai buku utuh dan seketika memantik diskusi dan perhatian publik. Lalu tahun 2021, Tarian Bumi salah satu masterpiece dari Oka Rusmini ini kembali menyapa pembaca milenial dengan rupa sampul yang lebih segar.
Tidak banyak novel yang berusia panjang dalam khazanah sastra Indonesia. Tarian Bumi menjadi salah satunya. Selain sebab cerita yang menarik dan dituturkan dengan jernih dan asyik, perkara-perkara yang diangkat Oka Rusmini dalam novel ini adalah hal krusial serta problem sepanjang hidup manusia.
Manusia berhadapan dengan kesetaraan, penyingkiran, sekaligus kebebasan yang dikekang. Maka tidak aneh bila Tarian Bumi ini terus saja diperbincangkan, dijadikan sebagai bahan diskusi dan pokok penelitian.
Bali tidak hanya menyajikan sebuah panorama indah alam dan ragam pilihan wisata. Bali juga menyimpan peliknya persoalan terutama perkara kasta dan strata sosial. Dan inilah yang dipotret dengan baik oleh Oka Rusmini dalam Tarian Bumi.
Kelas sosial memagari individu. Aturan adat mengekang kebebasan. Dan perkara-perkara demikian yang dialami oleh tokoh-tokoh perempuan dalam novel ini, yakni Ida Ayu Sagra Pidada, Jero Kenanga, dan Ida Ayu Telaga.
Bukan hanya soal kelas sosial, Oka Rusmini juga memotret bagaimana urusan gender krusial di tengah masyarakat yang memegang aturan agama dan adat sedemikian kuat. Perempuan digambarkan tidak memiliki kuasa penuh untuk mengatur kehidupan, bahkan juga lemah atas tubuh dan dirinya sendiri.
Ida Ayu Sagra Pidada digambarkan tidak memiliki kuasa untuk mengatur rumah tangganya. Perempuan dalam konteks sosial masyarakat selalu diposisikan sebagai kelas nomor dua.
Belum lagi ketika bicara soal seksualitas dan hak penuh atas tubuh sendiri. Perempuan seolah terkurung pada ukuran pantas dan tabu untuk bicara soal hasrat dan kebebasan tubuh mengekspresikannya.
Apakah Tarian Bumi ini hanya relevan dengan budaya Bali?
Meskipun dalam novel ini, kaya akan lokalitas dan budaya Bali sejatinya kisah-kisah perempuan dalam novel ini sungguhlah universal. “Persoalan tokoh-tokoh perempuannya sama dengan yang terjadi di Eropa, juga Korea,” tegas Oka Rusmini dalam obrolan via pesan daring.
Di dunia yang sungguh patriarki, perbincangan bagaimana posisi perempuan pada nomor dua dan tidak bebas mengeskpresikan kehendak akan selalu mencuat. Terlebih ketika obrolan-obrolan demikian mulai menjadi hal yang wajar di tengah perbincangan umum.
Tarian Bumi adalah salah satu bacaan yang indah sekaligus menggugah. Tarian Bumi juga menyajikan wisata bahasa dan keindahan Oka Rusmini merangkai cerita. Dan edisi baru Tarian Bumi dapat didapatkan dengan harga promo dan hadiah yang menarik di beberapa marketplace.
Perempuan kerap ditepikan dalam sejarah. Oleh sebab itu sastra hadir untuk mengetengahkan persoalan perempuan agar terus mendapatkan panggung, dan menjadi diskursus publik. Sebagaimana Tarian Bumi yang terus menari dan menjadi obrolan publik hingga kini.
Hanya sampai tanggal 28 Agustus edisi baru Tarian Bumi dengan harga promo dan hadiah menarik dapat di dapatkan di link-link marketplace berikut ini :
Jangan lupa cek ini juga ya, ada bonus tambahan untukmu:
https://bit.ly/voucher_artikel/
https://edukasi.kompas.com/read/2021/08/27/190000471/dua-dekade-tarian-bumi-karya-oka-rusmini-dinikmati-pembaca