Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Branson, Bezos, Musk dan Wisata Sains

Oleh: AC Mahendra K Datu | Innovation-OSCI Designer

KOMPAS.com - Tanggal 11 Juli 2021 menandai era baru wisata dengan berhasilnya Richard Branson, konglomerat pendiri Virgin Group mengangkasa sebagai turis bersama 3 orang lainnya, semuanya sipil, dalam wahana bernama Unity (by) Virgin Galactic.

Perlu 17 tahun bagi Richard Branson mewujudkannya. Tahun 2004 ia sudah memikirkan soal wisata luar angkasa ini dan mendirikan Virgin Galactic.

Branson bersama tiga crew berada di tepian angkasa di ketinggian 85 kilometer selama lebih dari satu jam dengan lima menit di antaranya para crew menikmati suasana tanpa gravitasi.

Konglomerat pendiri Amazon, Jeff Bezos tak mau kalah. Dengan roket New Shepard buatan perusahaannya, Blue Origin, ia bersama tiga crew lainnya termasuk anak muda berusia 18 tahun serta perintis space race berusia 82 tahun, Wally Funk, mengangkasa selama kurang lebih ‘hanya’ sepuluh menit.

Di pertengahan September ini, 4 orang sipil lainnya berhasil meluncur ke ruang angkasa untuk tujuan yang sama: wisata. SpaceX, perusahaan yang menyediakan jasa itu, memakai Dragon Capsule untuk mengangkut empat penumpang sipil itu ke ruang angkasa, ke ketinggian lebih dari 500 kilometer di atas permukaan laut untuk berada di orbit selama tiga hari.

Uniknya, dalam wisata angkasa SpaceX tersebut, ke empat crew-nya diberi agenda layaknya sekelompok pramuka melakukan field trip atau penjelajahan alam: mereka harus melakukan beberapa pengamatan serta eksperimen, membuat jurnal, dan agendanya serba unik.

Sama dengan visi Richard Branson dan Jeff Bezos yang merealisasi wisata luar angkasa, Elon Musk, konglomerat di balik perjalanan wisata ruang angkasa SpaceX ini, juga merealisasikan impian masa kecilnya.

Evolusi wisata "Out of the Box"

Wisata luar angkasa tentu ‘sesuatu banget’ bila dibahasakan dengan diksi anak-anak millenials. Namun wisata ini belum bisa menjamah golongan masyarakat kebanyakan, bahkan di negara-negara maju sekalipun.

Selain biayanya masih amat sangat mahal, juga belum ada standard keselamatan penerbangan luar angkasa bagi sipil yang tidak secara khusus dilatih seperti layaknya astronot.

Belum lagi biaya asuransinya – bila pun ada skema asuransi bagi warga sipil yang berniat mengikuti wisata yang ‘sesuatu banget’ ini.

Saat wisata alam, wisata budaya, wisata kuliner, dan wisata belanja sudah menjadi sesuatu yang biasa-biasa saja, lalu apakah wisata perjalanan ke luar angkasa hanya menjadi satu-satunya alternatif sebagai sebuah pengalaman wisata yang eksotik sekaligus memberi kepuasan tersendiri?

Tidak. Dan kabar baiknya, Indonesia bisa mulai menawarkan hal-hal alternatif lainnya yang tak kalah menarik.

Beberapa tahun lalu saat mengunjungi sebuah sudut objek wisata alam Kaliurang di kawasan Gunung Merapi di Sleman Yogyakarta, saya melihat anak-anak dipandu beberapa orang dewasa sedang melakukan aktivitas ‘mengamati’ flora dan fauna di objek wisata itu.

Tampaknya mereka bukan sekelompok pramuka, tapi semacam kids club yang sedang melakukan ekskursi di alam terbuka.

Saya amati anak-anak itu ditugaskan untuk mengamati, memotret serta membuat jurnal atas pengamatan mereka, lalu dalam beberapa kelompok kecil mereka bertukar pikiran atas pengamatan masing-masing.

Menarik sekali. Hari itu saya menemukan istilah yang paling tepat untuk kegiatan anak-anak itu: wisata sains.

Wisata sains? Istilah yang kurang keren untuk masuk kategori ‘wisata’, tapi….mari kita coba cermati lagi.

Sekira tujuh tahun lamanya saya tinggal di negeri jiran, Singapura, saya juga mengamati hal yang sama terjadi di beberapa tempat.

Pulau Ubin dan Jurong Bird Park adalah dua tempat yang paling sering dijadikan objek ekskursi anak-anak sekolah.

Betapa terkesimanya saya melihat anak-anak Singapura begitu takjub melihat ayam hidup dan berlarian, atau telur-telur ayam yang tergeletak di antara semak-semak. Mereka ternyata tak pernah melihat ayam hidup di alam terbuka.

Mereka hanya mengenal ayam yang sudah mati direbus atau digoreng. Sesederhana itu ketakjuban dapat diciptakan di mata anak-anak yang sehari-hari tinggal di perumahan-perumahan bertingkat.

Dalam konteks yang lebih spesifik, apakah kita juga mampu menciptakan ketakjuban-ketakjuban baru bagi tak hanya anak-anak tapi juga orang-orang dewasa melalui wisata sains yang memberikan nutrisi bagi rasa ingin tahu naluriah mereka sebagai makhluk cerdas?

Ini yang saya bayangkan: wisata sains yang secara terstruktur membuat orang-orang lebih memahami alam lingkungan sekitar – tak harus alam semesta dan ruang angkasa – dan tak hanya mendapatkan pengetahuan baru yang genuine saja, tapi lebih dari itu, kebijaksanaan untuk semakin mencintai dan menghargai alam lingkungan.

Di sepanjang pantai selatan DIY, dimulai dari daerah Gunung Kidul, Bantul hingga Kulon Progo misalnya, terdapat banyak gua-gua alami serta perbukitan yang layak dijelajahi sebagai objek wisata sains.

Para operator wisata sains akan menyiapkan paket-paket beragam untuk anak-anak sekolah, untuk para profesional muda, bahkan untuk khalayak ramai dengan berbagai ‘kurikulum’ serta kegiatan-kegiatan pengamatan, eksperimen, serta penulisan jurnal-jurnal pendek non-akademis.

Wisata sains ini sangat mendidik, penuh nilai, dan dibangun dengan sangat membumi yang menyenangkan.

Akan sangat afdol juga rasanya bila jurnal-jurnal dari wisata sains itu dikumpulkan dalam satu database raksasa di Kemenparekraf, dan jurnal-jurnal terpilih setiap tahunnya diadu dalam ajang ‘Indonesia Science Tourism Summit’ layaknya buku-buku pilihan diadu dalam IKAPI Award tahunan.

Manfaat lain dari wisata sains untuk semua orang ini adalah terpacunya level literasi masyarakat kita, tak hanya literasi dari membaca dan numerasi saja, tetapi literasi dalam mengamati dinamika keseharian serta alam lingkungan sekitar, lalu menjadi lebih mampu berpikir kritis setelahnya.

NASA, Silicon Valley, Expo Global

Saat mengunjungi Silicon Valley beberapa waktu lalu, lepas dari program pengembangan profesional yang saya dan beberapa kolega ikuti, saya merasakan bahwa pada saat itu sebenarnya kami merasa sedang berwisata, bukan belajar.

Kami mengunjungi beberapa raksasa teknologi di sana, juga mengikuti sesi Futurism di Universitas Stanford, melihat sendiri autonomous car Waymo besutan Google, ngobrol dengan profesor Berkeley yang sedang menjalankan eksperimen dark material untuk dipakai pada aplikasi kecerdasan buatan.

Kami tidak merasa sedang bersekolah, atau sedang menjalani training. Kami merasa sedang berdarmawisata di sebuah taman raksasa yang memberi tahu kami seperti apakah kecerdasan manusia itu dieksplorasi pada pencapaian puncak-puncak sains dan teknologi dalam terapannya sehari-hari.

Kami disuguhi sebuah tontonan spektakuler yang bernama sains. Dan kami pulang ke Indonesia dengan kegembiraan yang tak terkira.

Bagi sidang pembaca yang pernah mengunjungi Silicon Valley, atau pusat-pusat penelitian NASA di California, Texas maupun Florida, atau sudah menghadiri expo-expo besar seperti CES (Consumer Electronics Show – on Tech) di Las Vegas, MWC (Mobile World Congress) di Barcelona, CeBit (Computer Expo) di Hanover, maupun BAUMA (industrial machineries) di Frankfurt serta Shanghai, inilah wisata sains yang saya maksud.

Apakah Indonesia tidak bisa melakukan hal serupa? Sangat bisa!

Saatnya Kemenparekraf memfasilitasi

Keunikan geologis, topografi serta kekayaan flora dan fauna serta arkeologis sudah menjadi jaminan bahwa gagasan ini memiliki fondasi yang sangat kuat.

Museum Arkeologi di Sangiran atau Taman Nasional Ujung Kulon serta Taman Nasional Komodo dapat jadi gerbang pembuka.

Para operator wisata sains mulai dapat membangun rencana kerja, berkolaborasi dengan kampus-kampus setempat agar dalam wisata sains tersebut dapat pula duduk mengikuti ‘sesi-sesi akademis’ bersama para begawan di masing-masing bidang sains.

Inisiatif ‘wisata sains’ ini perlu difasilitasi oleh Kemenparekraf agar dapat segera terwujud dan masif.

Inilah wisata di mana Indonesia mungkin memiliki keunggulan telak dibanding negara-negara tetangganya karena kekayaan alamnya yang luar biasa besar menjadi ‘content’ dalam menyiapkan paket-paket wisata sains.

Kita tak harus memiliki konglomerat seperti Jeff Bezos, Elon Musk atau Richard Branson untuk merintis wisata sains ini. Asal kita mau, kita bisa!

Semper Fi!

https://edukasi.kompas.com/read/2021/09/16/174120371/branson-bezos-musk-dan-wisata-sains

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke