Penulis: Dr. Priyambudi Sulistiyanto, Senior Lecturer Flinders University, Adelaide-Australia
KOMPAS.com - Membaca sebuah buku memoar adalah seperti sebuah pengembaraan yang panjang, jauh, melampaui batas waktu, imajinasi, dan lokasi. Apalagi memoar ini mengurai sejarah perjalanan hidup seorang yang pernah saya kenal di masa lalu, tepatnya, di masa gerakan mahasiswa di Indonesia tahun 1980-an.
Teman lama ini bernama Theodorus Jakob Koekerits atau dikenal sebagai Ondos, seorang aktivis mahasiswa dari ITB yang terlibat langsung dengan dinamika gerakan mahasiswa 1980-an, baik yang berada di dalam dan di luar kampus di Bandung, dan ikut juga membangun jaringan antarkampus di Jawa, Bali, Sulawesi Selatan, dan daerah lainnya di Indonesia.
Saya merasa terharu ketika diminta untuk mengulas buku memoar tentang Ondos ini karena apa yang akan saya tulis di sini adalah sebuah refleksi dari pengalaman saya sendiri yang sempat bersentuhan secara langsung dengan para aktivis mahasiswa di Bandung pada 1980-an, khususnya di akhir 1989 hingga awal 1990-an. Pada saat itu, saya diminta ikut terlibat menjadi tim penulisan pleidoi dalam pengadilan para mahasiswa ITB yang ditahan setelah memprotes kunjungan Menteri Dalam Negeri, Rudini, ke kampus ITB pada 5 Augustus 1989.
Terus terang, keberadaan saya di Bandung membuka mata saya mengenai dinamika gerakan mahasiswa di Bandung dan sekaligus keberadaan dan sumbangsih mereka bagi dinamika gerakan mahasiswa dan pasang-surut demokratisasi di Indonesia. Apalagi, dengan keputusan Ondos dan kawan-kawannya untuk melakukan mogok makan sebagai protes terhadap kesewenang-wenangan Rektor ITB, Wiranto Arismunandar, ikut mewarnai potret gerakan mahasiswa Indonesia dengan memperkenalkan perlawanan simbolis, yaitu anti-kekerasan (non-violence), seperti pernah dilakukan oleh Mahatma Gandhi ketika melawan penjajahan Inggris di India.
Setelah menerima naskah buku memoar Ondos bertajuk Keteguhan Hati yang Teruji: Potret Gerakan Mahasiswa Indonesia 1980-an, saya harus membacanya secara bertahap selama tiga minggu terakhir ini, di antara kesibukan rutin mengajar dan mendampingi murid-murid Flinders University yang sedang belajar bahasa Indonesia. Dengan membaca secara perlahan ini membawa saya pada keputusan untuk menempatkan sejarah hidup Ondos dalam bingkai besar gerakan mahasiswa dan demokratisasi Indonesia yang belum tuntas. Mengapa? Ada tiga jawabannya.
Pertama, seingat saya, buku memoar Ondos ini adalah salah satu buku biografi politik yang sangat unik (malahan mungkin yang pertama) di mana berisi perjalanan hidup Ondos dari masa kecil, masa remaja, masa perkuliahan, masa bekerja di Kompas Gramedia, hingga menjadi politisi profesional di partai papan atas, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Sumbangan terbesar dari buku ini adalah juga menceritakan secara mendalam dinamika gerakan mahasiswa 1980-an dari sudut pandang Ondos sendiri yang dituliskan secara rapi dan runtut oleh teman-temannya dari kalangan aktivis gerakan mahasiswa di Bandung. Sepengetahuan saya sebagai peneliti politik Indonesia kontemporer, belum ada buku memoar yang secara tuntas mengurai dan mendiskusikan secara mendalam dan gamblang tentang gerakan mahasiswa di Bandung pada 1980-an. Yang pernah ada dan terbit sebelumnya adalah pleidoi-pleidoi atau buku-buku saku kecil yang ditulis oleh mantan aktivis mahasiswa di Bandung yang dibaca di pengadilan pada 1970-an dan 1980-an.
Ondos, ITB dan Demokrasi
Sebagai perbandingan, memang benar, belakangan ini juga terbit buku-buku untuk menghormati para mantan aktivis mahasiswa yang sudah meninggal dunia, misalnya, M. Yamin dan A.E. Priyono dari Yogyakarta. Namun, buku-buku tersebut berisi tulisan-tulisan yang disumbangkan oleh kawan-kawannya dengan perspektif mereka masing-masing.
Buku tersebut memang mirip biografi politik, tetapi tidak mendalam seperti buku memoar Ondos ini. Saya sendiri (sebagai bekas mantan aktivis pers mahasiswa pada 1980-an di Yogyakarta) mengamati dan berpendapat bahwa masih banyak saksi mata lainnya yang bisa menceritakan, bahkan mengkonstruksikan kembali sumbangan intelektual dari para mantan aktivis gerakan mahasiswa di Bandung, khususnya dari ITB, yang ikut membantu proses mulainya perubahan politik di Indonesia pada awal 1990-an.
Bahkan dalam buku tentang kejatuhan pemerintahan Soeharto yang berjudul Opposing Suharto: Compromise, Resistance, and Regime Change in Indonesia, yang ditulis oleh Edward Aspinall (2005) dari Australia, tidak disinggung peran penting yang dilakukan oleh Ondos dan kawan-kawannya di Bandung dalam aksi-aksi politik, termasuk aksi mogok makan yang ikut memperkaya model-model perlawanan politik melawan pemerintahan Soeharto.
Dengan kata lain, buku memoar Ondos ini bisa dikatakan sebagai salah satu dokumen penting untuk generasi mahasiswa dan peneliti-peneliti saat ini dan di masa depan yang ingin meninjau kembali pasang-surut gerakan mahasiswa di Bandung dan keberadaannya dalam dinamika politik lokal dan nasional di Indonesia pada 1980-an.
Kedua, buku memoar Ondos ini menegaskan kembali sebuah idealitas dari sosok atau orang Indonesia yang paripurna, yaitu orang yang tumbuh besar dalam keberagaman etnis, agama, dan budaya. Sosok seperti Ondos inilah yang sebenarnya mencerminkan potret Indonesia yang sebenarnya, yaitu sosok yang dibesarkan dan hidup dalam keberagaman masyarakat Indonesia. Dalam buku ini diuraikan bahwa ketika itu Ondos muncul sebagai aktivis mahasiswa yang bisa berinteraksi dengan aktivis mahasiswa lainnya yang berasal dari latar belakang etnis, agama, dan pilihan politik yang berbeda-beda.
Sayang sekali, menurut saya, yang kurang dari buku memoar Ondos ini adalah hubungannya dengan aktivis-aktivis mahasiswa Islam dari Masjid Salman di kampus ITB. Tidak bisa dipungkiri bahwa keberadaan komunitas Salman sangat dikenal oleh banyak orang atau aktivis dari kota-kota lain di Pulau Jawa dan saya menduga bahwa Ondos dan kawan-kawannya sudah tentu juga berkomunikasi dengan komunitas Salman yang terkenal dengan publikasinya. Semoga akan ada buku memoar lain yang bisa mengisi kekosongan ini, terutama yang ditulis oleh mantan aktivis mahasiswa di ITB.
Namun demikian, belakangan, setelah bergabung dalam kepengurusan Forum Demokrasi-nya Gus Dur, menunjukkan bahwa Ondos memilih sikap dan pilihan politiknya yang jelas, yaitu pro-demokrasi dan pro-kemajemukan. Untuk itu, buku ini secara langsung dan tidak langsung ikut memberikan pelajaran bagi kita semua bahwa Indonesia yang majemuk pasti akan selalu melahirkan sosok seperti Ondos di mana semangat untuk hidup dan untuk memajukan Indonesia dengan memanfaatkan dan mengelola keberagaman rakyatnya secara damai dan profesional adalah bagian dari warisan penting para pendiri Republik Indonesia yang tercinta.
Diharapkan, tentu saja, keberadaan sosok seperti Ondos juga akan menambah jumlah tokoh-tokoh panutan untuk masa kini dan masa depan terutama yang menginginkan negeri ini tidak terpecah belah dan morat-marit karena gagal mengelola keberagaman atau kemajemukan di Indonesia.
Ketiga, buku memoar Ondos ini juga memberi pelajaran penting mengenai adanya banyak pilihan profesi pekerjaan bagi para aktivis mahasiswa setelah menyelesaikan kuliahnya. Ondos sendiri melaluinya dengan tekun dan bersedia belajar banyak dari siapa saja di lingkungan pekerjaannya. Ini semua menunjukkan bahwa pembelajaran jati dirinya sejak menjadi mahasiswa jurusan geologi di ITB maupun sejak terlibat dalam banyak kegiatan ilmiah dan kemahasiswaan lainnya menjadi bekal penting bagi masa depan Ondos.
Untuk itu, perjalanan hidup Ondos setelah meninggalkan ITB sangat menarik untuk diapresiasi mengingat ia berhasil melalui masa-masa transisi dari aktivis mahasiswa menjadi seorang profesional di bidangnya, khususnya ketika ia bergabung dengan Kompas Gramedia.
Namun demikian, yang paling menarik adalah pilihannya menjadi politisi di masa akhir hidupnya. Saya sendiri termasuk yang terkejut ketika mendengar Ondos menjadi anggota DPR untuk Dapil VI di Jawa Timur yang terkenal sangat sulit dimenangkan oleh para politisi dari banyak partai politik. Di sini Ondos berdampingan dengan Pramono Anung (juga mantan aktvisi mahasiswa ITB) yang sekarang menjadi Menteri Sekretaris Kabinet.
Pilihan Ondos menjadi politisi ini sangat menarik untuk didiskusikan karena seingat saya di zaman gerakan mahasiswa 1980-an ada semacam sikap antipati di kalangan aktivis mahasiswa terhadap partai politik dan politisi yang dianggap sebagai simbol keangkuhan politik pemerintahan Soeharto yang otoriter dan korup. Barangkali sikap itu ikut menyumbangkan kegagalan parlemen Indonesia untuk mendapatkan politisi-politisi yang idealis dan bersih.
Ternyata ini dijawab dalam buku memoar Ondos di mana kita bisa membaca dan belajar banyak tentang seluk-beluk dan suka-duka seorang politisi yang selalu dekat dan 'merawat' konstituen politiknya di Dapil VI. Tampaknya keterampilan dan keuletan Ondos untuk melakukannya tidak bisa terlepas dari kiprahnya sejak menjadi aktivis mahasiswa di ITB dan benang merah ini tidak bisa terlepas atau dihilangkan. Oleh karena itu, saya merasakan bahwa buku memoar Ondos ini juga bisa dijadikan semacam 'panduan' mempersiapkan mantan aktivis mahasiswa untuk menjadi politisi yang baik di Indonesia di masa ini dan di masa depan.
Selanjutnya, dalam bingkai yang besar, kita bisa mempertanyakan sumbangan apa yang bisa dipetik dari diterbitkannya buku memoar Ondos dalam hubungannya dengan potret demokratisasi di Indonesia yang belum tuntas ini?
Dalam perspektif kesejarahan dan struktural, sosok seperti Ondos ini muncul dan berpartisipasi secara politik dalam periode akhir 1980-an dan awal 1990-an di mana pemerintahan Soeharto menomorsatukan stabilitas politik untuk mengawal pertumbuhan ekonomi.
Dalam periode ini juga ada warisan ideologi 'perang dingin' (cold war) dan sentimen anti-komunisme masih kuat di Indonesia dan, oleh karena itu, gerakan mahasiswa selalu dilihat oleh pemerintah dari sudut pandang ketakutan akan bangkitnya gerakan komunisme atau PKI.
Langgam dan strategi politik ini selalu dipakai dan bahkan dihidupkan terus setiap tahun hingga kini, khususnya pada bulan September. Sebenarnya situasi politik dan ekonomi yang sama juga terjadi di Asia Timur (Korea Selatan, Taiwan, dan Jepang) dan di Asia Tenggara (Thailand, Filipina, Malaysia, dan Singapura) dan ini semua bergulir menjadi rezim-rezim anti-demokratis yang dibentuk dari aliansi atau koalisi antara kelompok militer, konglomerat domestic, dan modal asing (baik dari Amerika Serikat, Eropa, dan Asia Timur).
Namun demikian, dalam perjalanan waktu, koalisi bisa berubah dan beradaptasi dan ini terjadi di kawasan Asia terutama sejak krisis moneter tahun 1997/1998 di mana banyak pemerintahan otoriter-pembangunan (developmentalist-authoritarian) tumbang silih berganti, termasuk di Indonesia. Selanjutnya, proses demokratisasi muncul seperti layaknya komoditas yang laris manis dijual di kawasan Asia dan di Indonesia ini pun direspons dengan melakukan reformasi di semua sektor, termasuk ekonomi, politik, hukum, keamanan, dan pendidikan.
Konsekuensinya, orang seperti Ondos dan kita semua larut menjadi bagian dari proses demokratisasi di Indonesia dan di sinilah kita semua memilih peran apa yang bisa dilakukan di dalam proses ini.
Persoalannya adalah bahwa proses demokratisasi ini belum tuntas seperti yang dimimpikan atau diidealkan oleh Ondos atau orang-orang seperti Ondos di Indonesia. Bahkan, belakangan, banyak pihak (khususnya para pengamat politik di dalam dan di luar negeri) menilai bahwa proses demokratisasi di Indonesia ini dibajak dan dikuasai oleh aliansi antara partai politik, konglomerat, dan modal asing atau sering disebut sebagai kekuatan oligarki (Robison dan Hadiz, 2004; Ford dan Pepinsky, 2014).
Ini sangat ironis dan menyedihkan dan ini juga terjadi di kawasan Asia Tenggara di mana proses demokratisasi diiringi dengan bangkitnya populisme dan naiknya kebijakan-kebijakan otoriter, khususnya di sektor keamanan, media, dan hak-hak berorganisasi.
Di sinilah tantangan besar bagi para politisi sebagai aktor politik untuk memilih dan merawat konstituen di wilayahnya masing-masing dan saya berpendapat ini perlu dikembangkan dan diperkuat di masa ini dan masa depan. Penguatan basis-basis politik lokal di mana hubungan politisi dan konstituennya bisa dikelola dengan produktif dan saling menguntungkan secara rutin bisa dijadikan bagian dari gerakan masif dari basis-basis konstituen dalam rangka memperkuat proses demokratisasi di Indonesia. Sumbangan konkret dari apa yang dilakukan Ondos di Dapil VI Jawa Timur ini sudah selayaknya dijadikan materi utama untuk pendidikan politik bagi para calon politisi Indonesia dan semoga ini semua akan terwujud seperti pernah digagaskan oleh para aktivis gerakan mahasiswa 1980-an. Semoga!
Buku Keteguhan Hati Yang Terujipotret Gerakan Mahasiswa Indonesia dapat dibeli di https://www.gramedia.com/products/keteguhan-hati-yang-terujipotret-gerakan-mahasiswa-indonesia/
Dapatkan diskon 20 persen dengan mengisi link ini https://bit.ly/voucher_artikel/
https://edukasi.kompas.com/read/2021/09/28/113437071/kisah-perjuangan-ondos-aktivis-mahasiswa-1980-dalam-memoarnya