Penulis: Paulina Dewanti - Editor Elex Media Komputindo
KOMPAS.com - Jegherrr… bak suara petir menyambar, runtuhlah semua. Rencana yang sudah kususun selama ini sepertinya harus buyar selamanya.
“Mulai tahun depan, rencananya kamu akan dipindahkan ke divisi lain, tapi masih dalam departemen yang sama kok, jadi tenang saja pasti tidak sulit buatmu menyesuaikan dengan yang baru…,” kabar yang disampaikan sore itu sungguh membuatku tak tahu harus berbuat apa.
Seketika berbagai pikiran berkelebat. Kenapa aku? Ada apa denganku sampai harus dipindah? Apa ada yang kurang dariku? Mungkin aku berbuat salah? Atau, apa sebenarnya aku sudah tidak dibutuhkan lagi di sini, dan ini cara halus untuk menyingkirkanku…? Apa aku tidak becus?
Malam itu pun kulalui dengan berjuang melawan pikiranku sendiri. Aku lelah… aku ingin semua ini berhenti, tapi bagaimana?
Pernah merasakan hal ini? Merasa apa yang terjadi adalah kesalahan mu seutuhnya? Mungkin, di kisah lain kamu pernah merasa berat menjalani hidup karena ragu pada dirimu?
Padahal, menurut Psychology Today, menyalahkan diri sendiri atau self-blame adalah bentuk perlakuan yang paling kejam dan toksik terhadap perasaan kita sendiri.
Kamu terfokus pada memperkuat kekurangan diri, baik kekurangan yang sebenarnya terjadi atau hanya imajinasi belaka. Begitu sering kamu menyalahkan diri sendiri ketika ada peristiwa buruk yang menghampiri hidup kamu.
Seolah semua ini pasti adalah buah dari kesalahan-kesalahan yang kamu lakukan, entah itu kapan, tapi pasti karena kamu pernah melakukan kesalahan.
Padahal, jangan-jangan, tidak ada yang keliru dalam hidup kamu. Jangan-jangan, ini hanya soal bagaimana kamu selalu berkutat dengan pikiran kamu sendiri, dan berakhir menyalahkan diri sendiri.
Apa yang dapat dilakukan untuk mengatasinya? Ada. Melalui konsep mindfulness misalnya.
Saat ini, konsep ini dipercaya mampu menjaga kesehatan mental. Prinsip mindfulness mengajak kita untuk sejenak berhenti mencari. Mencari sebab atau alasan dari sebuah peristiwa. Mencari apa itu ketenangan dan kebahagiaan.
Karena sebenarnya semua yang dicari sudah ada di sini, kini. Kita bisa bahagia tanpa satu alasan khusus. Ada sedikit perbedaan antara mindfulness dan meditasi. Namun, keduanya sama-sama merupakan bentuk kontemplasi, kesadaran, dan refleksi.
Jika meditasi lebih pada level yang tinggi untuk melatih kesadaran yang di dalam praktiknya mencakup ‘mantra’ yang membantu untuk tetap fokus, maka mindfulness adalah kesadaran pada momen saat ini, bahkan menyadari setiap tarikan napas kita.
Mindfulness adalah tentang kesediaan untuk kembali pada kesadaran dan menjadi pemula lagi dan lagi.
Salah satu latihan paling sederhana untuk mendengarkan tubuh dan batin bagi pemula adalah dengan menulis jurnal atau buku harian, atau dikenal juga dengan diary.
Natalie Goldberg, penulis buku Writing Down the Bones, mengatakan bahwa menulis adalah satu bentuk meditasi Zen paling dalam yang pernah ia praktikkan.
Ketika menulis, batin kita terjangkar bersama pena. Kita memberikan ruang bebas bagi batin untuk mengekspresikan dirinya.
Jurnal pribadi ini bisa menjadi wadah bagi kita untuk menceritakan semua pengalaman kita, dan diharapkan akan bisa menjadi cermin yang merefleksikan tentang siapa diri kita yang sebenarnya.
Masih banyak latihan yang bisa kita lakukan untuk menetralkan semua kekacauan pikiran dan kegalauan kita. Tips dan latihan mindfulness lebih lengkap dapat ditemukan di dalam buku Mindful Is Mind-less.
Kita bisa menjalani hidup kita yang berharga ini dengan sadar dan wawas, mindful. Terus-menerus mengurai pikiran yang penuh, mind-less.
Penasaran sama bukunya? Cek di sini: https://www.gramedia.com/products/mindful-is-mind-less-seni-beristirahat-dalam-badai
Pengen beli buku ini, tapi dompet tetap aman?
Klik ini: http://bit.ly/voucher_artikel/
https://edukasi.kompas.com/read/2021/09/30/200000371/cara-bahagia-di-segala-kondisi-lewat-metode-mindfulness