Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Utoeh Ishak, Penjaga Terakhir Rencong Tradisional Aceh

Oleh: Aifa Meisi Putri Aulia | SMAN Modal Bangsa Arun, Aceh | Juara Pertama Festival Literasi Siswa Indonesia 2021 bidang Feature.

KOMPAS.com - Menyusuri jalan berkelok pada hari itu adalah perjalanan menyusuri lintasan sejarah. Setelah keluar dari kota Lhokseumawe, sekitar 20 menit kami pun memasuki pedesaan Meunasah Blang yang berada di Tanah Pasir, Aceh Utara.

Angin bertiup di sela daun dan gang yang hanya bisa dilalui satu buah mobil, hingga akhirnya tiba di sebuah rumah panggung tua, yang dikelilingi pohon kelapa, pisang, mangga, dan bunga-bunga yang ditanam di tanah.

Di sini tinggal seorang utoeh rencong, sebutan bagi mpu atau pembuat rencong, yang telah menekuni profesinya selama lebih dari 40 tahun.

Kedatangan kami disambut ramah di sela istirahat siang, di ruang kerjanya, sebuah pondok sederhana beratapkan daun rumbia di halaman rumah.

Hari itu tidak ada suara bertalu-talu dari hempasan martil ke atas besi, kecuali kicau burung yang menemani pertemuan sederhana dengan pembuat rencong tradisional terakhir.

Nama beliau adalah Ishak Abdullah, lelaki kelahiran tahun 1952. Saat ini usia beliau sudah menginjak 69 tahun. Utoeh Ishak, demikian masyarakat memanggilnya, dikenal sebagai pembuat rencong yang masih menjaga tradisi pembuatan dengan cara tradisional.

Di antara para pembuat rencong di Aceh, kebanyakan telah menggunakan teknik dan peralatan modern sehingga bisa membuat dalam jumlah banyak dan cepat.

Dalam tradisi Aceh, orang yang menempa besi disebut pande, atau ada juga yang menyebut pande beusoe yang berarti pandai besi. Utoeh adalah sebuah gelar yang diberikan atas kemampuan menempa besi yang telah diakui masyarakat.

Kesadaran ruang dan nilai rencong Aceh

Pada masa dulu, ilmu dari utoeh hanya diwariskan kepada keturunannya saja. Saat ini seiring dengan makin terbukanya masyarakat, ilmu dari utoeh bisa dipelajari sesiapa saja yang ingin belajar dengan serius.

Tempat pengerjaan penempaan besi adalah teumpeun, yang terdiri dari beberapa bagian atau unit, diantaranya pot-pot (alat peniup), unggun api, martil, dan bak air.

Proses yang dilalui dalam pembuatan besi menjadi senjata yaitu dengan besi yang dibakar ke dalam api sehingga berubah warna menjadi merah, kemudian baru dipukul-pukul dan membentuk senjata.

Setelah itu baru dilanjutkan dengan pekerjaan menyepuh, yang dalam daerah adat Aceh disebut seumeupoh.

Menurut utoeh Ishak, sudah ada beberapa orang yang datang ingin berguru kepadanya. Tetapi semuanya hanya ingin mempelajari teori pembuatan rencong saja. Untuk bisa menguasai teknik pembuatan rencong yang benar, setidaknya dibutuhkan waktu dua tahun belajar.

Kisah kehidupannya sebagai seorang utoeh bermula sekitar tahun 1977. Awalnya ia adalah seorang pandai besi yang hanya fokus membuat parang. Ia diajak oleh lelaki yang bernama utoeh Yakub.

Utoeh Yakub adalah putra utoeh Bong yang merupakan seorang primadona diantara utoeh lainnya pada masa itu. Sayangnya, kenang beliau, ia tidak sempat bertemu langsung dengan utoeh Bong karena telah meninggal ditahun 1969, delapan tahun sebelum pertemuannya dengan utoeh Yakub.

Kebanyakan rencong yang beredar saat ini, menurut beliau hanyalah rencong hias, bukan rencong sebenarnya.

Maka, di satu kesempatan saat diminta pendapat tentang sebuah rencong, tak segan-segan dikatakan, “Oh ini rencong palsu,” kata utoeh Ishak kepada yang bertanya. Marah mereka semua, kenangnya sambil terkekeh dan saya pun jadi ikut tertawa.

Bagi utoeh Ishak, penempa rencong harus memiliki kesadaran akan ruang dan nilai saat membuatnya. Dari situ kemudian dibentuklah rencong dengan lekuk dan ukiran yang telah ditetapkan secara turun-temurun. Secara nilai, di bagian gagang, ada perlambangan huruf ba dari Bismillah.

Di ujung sarung, ada lekuk bergerigi tiga sebagai lambang huruf sin. Di bagian tengah bilah adalah huruf ra. Keseluruhannya membentuk kaligrafi Bismillahirrahmanirrahim. Karena penempaannya mengandung aspek religiusitas, maka penggunaannya tidak boleh keluar dari nilai agama.

Kalau secara ruang, beliau menunjuk ke bagian lekuk gagang adalah Kuta Alam. Ujung dari gagang adalah Ulee Lheue. Kemudian di sekitar pembatas gagang dan bilah adalah Lhokseumawe, kemudian Langsa.

Di bagian ujung merupakan kota Langkat Tamiang. “Tapi itu dulu, kalau sekarang di ujung ini adalah Merauke, karena sudah bersatu Aceh dengan Jawa (Indonesia),” terangnya dalam bahasa Aceh. Konsep ruang ini berarti, bahwa rencong harus digunakan dengan tujuan membela tanah air.

Tradisonal, dari pembuatan hingga pemasaran

Biasanya utoeh Ishak hanya membuat rencong ketika ada pesanan. Jika tidak memiliki pesanan, beliau turun ke sawah untuk mengisi waktu luangnya. Harga satu buah rencong yang dijualnya bisa mulai dari dua ratus ribu sampai dua jutaan.

Salah satu rencong yang terbilang mahal adalah rencong siwah, jenis rencong yang dipakai oleh Sultan Iskandar Muda. Murah dan mahalnya suatu rencong itu tergantung pada tingkat detail rencong tersebut.

Pembuatan untuk detail tinggi bisa memakan waktu sampai satu minggu, itupun jika bahan baku tersedia lengkap.

Saat ini beliau masih menggunakan teknik pemasaran tradisional, yaitu dengan menjual hasil karyanya ke pengepul. Terkadang juga, ada pemesanan dari luar kota, biasanya yang seperti ini sudah menggunakan aplikasi WhatsApp dalam berkomunikasi.

Sampai saat ini informasi tentang beliau hanya tersebar dari mulut ke mulut. Pemasaran melalui aplikasi ecommerce secara modern belum dimanfaatkan secara maksimal.

Bahan baku yang digunakan adalah besi putih untuk bilah dan sarungnya dari tanduk kerbau, atau lungke dalam bahasa Aceh. Untuk besi putih, biasanya didapat di tempat jualan rongsokan.

“Kadang ketemu kadang gak ketemu, gak tentu,” ucapnya. Kalau lungke jarang ada yang menjualnya di Aceh Utara dan sekitar. "Biasanya lungke sering dipesan dari Takengon, Sigli, dan Meulaboh,” ucap utoeh Ishak.

Biasanya dana yang dikeluarkan berkisar 60 ribu untuk sepasang lungke kerbau betina, sedangkan untuk lungke kerbau jantan lebih murah, sekitar 40 ribu. Lungke kerbau betina lebih mahal karena bentuknya yang lebih panjang dan mudah dibentuk dibandingkan lungke kerbau jantan.

Hasil tangannya ini pernah ikut dilombakan. Seperti di tahun 2018, utoeh Ishak mendapatkan tawaran membuat pedang on jok (pedang daun enau), salah satu senjata tradisional aceh.

Pedang seharga 5 juta itu diikutsertakan dalam sebuah festival internasional dan mendapat juara, “Tapi saya tidak dapat hadiah apapun selain piagam penghargaan. Tiga orang yang tanda tangan, ya profesor doktor. Cuma mau dibawa kemana?” tuturnya.

Rencong Aceh, jangan jadi ingatan yang hilang

Orang yang membeli rencong beliau berasal dari berbagai lapisan masyarakat. Mulai yang biasa sampai kolektor. Ada juga pembeli dari luar negeri. Saat ditanya, pernahkah pemerintah daerah membeli hasil karya utoeh? “Ga ada, ha ha ha,” jawabnya.

"Sekira pemerintah daerah mau beli banyak," lanjut beliau, "Kita jadi punya modal. Bisa dikembangkan. Bisa kita panggil anak-anak lain di sekitar, ada alat untuk kerja, kemudian bisa kita bayar gaji. Kalau begini bagaimana mau bayar gaji. Bahan yang kita butuh saja susah bayarnya."

Utoeh Ishak sangat ingin sekali kegiatan ini berjalan dan terus diwariskan kepada orang banyak. Saat ini, yang mewarisi pengatahuannya hanya seorang anak laki-lakinya. Bahkan, menurut beliau, anaknya lebih mahir dan memiliki wawasan rencong lebih banyak dari dirinya.

Tetapi apa boleh buat, anaknya tidak bisa melanjutkan pekerjaan itu karena penghasilan yang didapat tidak mencukupi. Akibatnya, jika ada pesanan rencong yang butuh pengerjaan detail, beberapa kali terpaksa dibatalkan karena tidak ada orang yang membantunya.

Di usianya yang sudah senja, ia tidak lagi memiliki tenaga seperti di masa muda.

“Jika pemerintah daerah tidak mau bersungguh-sungguh membantu, kita akan kehilangan salah satu warisan budaya yang penting. Apakah tidak weuh hatee (sedih hati)?” ujarnya.

Sudah seringkali utoeh Ishak dikunjungi, baik oleh pejabat dinas, wartawan, ataupun orang-orang yang sekadar ingin berkenalan. Meski beliau tidak fasih berbahasa Indonesia, semuanya diterima dengan ramah.

Tetapi belum ada bantuan konkret yang bisa menjamin kelestarian budaya ini. Saya teringat tulisan Gunawan Muhammad yang berjudul “Origami”. Di situ disebutkan bahwa sejarah terbuat dari sebuah struktur bahan yang gampang melayang. Sebab, bahan penyusunnya bagaikan kertas, yaitu ingatan.

Jangan sampai warisan budaya ini jadi sebatas ingatan yang pelan-pelan hilang, dan generasi berikutnya hanya akan mendengar cerita utoeh rencong dan rencongnya yang terakhir.

https://edukasi.kompas.com/read/2021/10/11/113645971/utoeh-ishak-penjaga-terakhir-rencong-tradisional-aceh

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke