Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Seniman Lukis Jelekong Bertahan di Tengah Badai

Oleh: Hadiyanto | SMAN 1 Banjaran Kab. Bandung, Finalis Festival Literasi Siswa Indonesia 2021

“Bakat terbentuk dalam gelombang kesunyian, watak terbentuk dalam riak besar kehidupan” (Johann Wolfgang von Gothe)

KOMPAS.com - Apa itu bakat? Apakah dia terlahir? Atau terbentuk? Namun, bagaimana jadinya jika ratusan bahkan ribuan masyarakat dalam satu kampung memiliki "bakat" yang sama?

Keunikan ini terjadi pada sebuah kampung di Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Sejak masa Orde Baru, mayoritas masyarakat Kampung Jelekong Kecamatan Baleendah Kabupaten Bandung sudah menekuni dan menjalani kehidupan sebagai seniman lukis.

Pasalnya, terdapat lebih dari seribu pelukis yang bertempat tinggal di kampung ini. Berawal dari seorang seniman bernama Odin Rohidin yang mengajarkan ilmu melukisnya pada keluarga, membuat masyarakat sekitar mulai tertarik dan ikut bergabung mempelajarinya.

Sentuhan garis, goresan warna, dan bentukan rupa sudah menjadi pemandangan sehari-hari masyarakat kampung. Keadaan lingkungan tersebut membuat jiwa seni tumbuh dan merekah dalam diri warga.

Di sisi lain, antusiasme yang tinggi dan cara pandang masyarakat bahwa segala hal bisa dipelajari menjadikan kemampuan melukis bisa diserap dan berkembang dengan cepat. Bagi mereka, bakat hanyalah sebuah gelar, tapi kemampuan, murni bisa karena terbiasa.

Tradisi Lukis Jelekong

Melukis dapat dilihat sebagai sebuah tradisi dalam masyarakat Jelekong karena sejak 50 tahun yang lalu kegiatan itu masih terus dilakukan sampai hari ini oleh sebagian masyarakat di sana.

Keterampilan melukis diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya dalam satu keluarga secara tidak formal. Keterampilan itu juga seringkali didapat melalui sebuah “sistem pengajaran” dalam komunitas atau sanggar lukis.

Sistem ini terjadi ketika seorang pemula yang ingin belajar melukis, lalu membantu di sanggar seni pelukis senior. Sebelum membantu melukis pesanan, pembelajaran melukis tentu diajarkan terlebih dahulu pada mereka.

Teknik dipelajari pemula dengan meniru apa yang dilakukan seniornya (copy the master). Proses pembelajaran seperti ini merupakan salah satu cara pewarisan melukis dari generasi senior ke generasi junior sehingga kegiatan melukis terus hidup di Jelekong.

Bukan saja keterampilan melukis, tema, gubahan, serta cara melukis juga menjadi bagian yang diturunkan oleh generasi tua. Maka, bukan hal yang aneh jika apa yang dihasilkan para pelukis hari ini tidak jauh berbeda dengan apa yang sudah pernah dilakukan pada masa sebelumnya.

Apa yang dikenal dengan "lukisan pemandangan" merupakan salah satu pewarisan itu yang menjadi ciri khas dan stereotip dari lukis Jelekong. Bercorak realisme dan naturalisme menjadi karakteristik utama dari produk-produk yang dihasilkan.

Seiring dengan majunya teknologi dan pesatnya ilmu pengetahuan bidang seni, corak yang dihasilkan oleh lukis Jelekong semakin bervariasi beriringan dengan arus pasar dan pesanan pembeli.

Saat ini sudah banyak lukisan bercorak surealisme, romantisme, hingga dadaisme. Namun, hal tersebut tidak mengubah ciri khas Jelekong dengan lukisan realisme dan naturalismenya.

Lukis Jelekong bangkit di masa reformasi

Tahun 90-an merupakan masa-masa emas dari eksistensi lukisan Jelekong. Nilai lukisan yang masih dijunjung tinggi pada masa itu memberikan efek siginifikan pada harga jual sebuah lukisan.

Bayangkan saja, sebuah lukisan berukuran 60x80 cm dibandrol dengan harga Rp 400.000. Para pelukis bisa membuat satu hingga dua karya setiap harinya. Masyarakat Jelekong yang mayoritas sebagai seniman lukis sangat makmur saat itu.

Sayangnya, krisis ekonomi tahun 1997 yang berujung pada reformasi 1998 sangat berdampak bagi masyarakat Jelekong. Bisnis yang berkaitan dengan kegiatan ekspor dan impor tentu terhambat dengan adanya krisis moneter yang terjadi, termasuk pemasaran produk lukisan.

Kang Iman (34), pemilik Budiman Gallery Arts Jelekong menuturkan kesulitan para seniman di masa itu.

“Dari ribuan pelukis, mereka bingung untuk menjual produk. Waktu itu, mereka menjual produk masing-masing yang akhirnya terjadi gesekan harga. Lukisan Jelekong mulai turun,” ungkap Kang Iman.

Hiruk piruk seniman lukis Jelekong tidak berhenti sampai di sana. Tragedi bom Bali satu dan dua turut memberi dampak serius terhadap penjualan produk. Sebab, hampir 70 persen pemasarannya ada di Bali dengan wisawatan asing sebagai target utama.

Sayangnya, pemerintah kurang memberi perhatian serius terhadap hal ini dan belum bisa menstabilkan gejolak permasalahan yang terjadi. Masyarakat terpaksa berjuang sendiri.

Berkat kegigihan masyarakat dalam menjaga tradisi lukisan Jelekong, tidak hanya membuat kampung ini berhasil melewati masa-masa sulit itu, tetapi juga berhasil menjadikan Kampung Jelekong sebagai Desa Wisata Kampung Seni dan Budaya yang menjadi sentra lukisan di Kabupaten Bandung.

Galeri seni dan sanggar lukis semakin berkembang keberadaannya. Tingginya kualitas lukisan Jelekong sudah tidak diragukan lagi. Seluruh dunia sudah mengakuinya.

Bagaimana tidak, pasalnya, tidak sedikit wisatawan asing datang berkunjung untuk sekadar membeli ataupun belajar melukis secara langsung pada masyarakat di sanggar seni yang ada. Wisatawan tersebut di antaranya berasal dari Australia, Hongkong, Amerika Serikat, dan Perancis.

Lukisan Jelekong yang mulai naik terpaksa berhenti dihantam badai pandemi.

Pemasaran produk terus terhambat seiring pemberlakuan aturan pembatasan aktivitas. Kebanyakan seniman kehabisan bahan baku melukis.

Salah satu bahan penting yang sangat sukar didapat ialah Linseed oil, pengencer cat warna. Jika ada, harganya pun berkali-kali lipat mahalnya dengan perbandingan isi yang sangat kontras.

Hal ini mengakibatkan ratusan pelukis berhenti bekerja dan sebagian dari mereka beralih profesi untuk terus berjuang demi keberlangsungan hidup. Sekiranya hanya tersisa 250 seniman lukis yang masih aktif berkarya.

Kehadiran pemerintah sangat diharapkan untuk membantu eksistensi mereka.

“Masyarakat bingung harus mengadu pada siapa, di mana pemerintah?” ujar Kang Iman, salah satu seniman lukis Jelekong. Ia berharap masyarakat bisa tetap bertahan dan berusaha untuk bangkit dari keterpurukan ini.

Berbagai pihak terkait harus merapatkan barisan saling mendukung. Menurutnya, peran pemerintah saat ini sangatlah diperlukan untuk memberi perhatian khusus mengenai permasalahan yang terjadi.

Jika dibiarkan terus-menerus, entah seperti apa nasib seniman lukis Jelekong di masa mendatang.

Mampukah Lukis Jelengkong bertahan di tengah badai?

Kesulitan yang melanda saat ini memaksa masyarakat untuk tetap bertahan di tengah dahsyatnya pandemi dan majunya teknologi.

Kendati demikian, para seniman Jelekong mampu beradaptasi dengan lingkungan dan kondisi yang terjadi.

Memasarkan produk melalui digital marketing adalah salah satu upaya yang mereka lakukan. Pada berbagai macam marketplace yang ada, produk lukisan Jelekong mulai dipasarkan dan ditawarkan secara daring.

Para seniman lukis Jelekong selalu meyakini bahwa badai pasti berlalu. Hal yang harus mereka lakukaan saat ini adalah mengumpulkan tekad dan optimisme untuk mampu menerjang badai pandemi.

Sebab, jika mereka lengah dapat merontokkan mahakarya yang telah telah dipegang teguh secara turun temurun.

https://edukasi.kompas.com/read/2021/10/12/080000271/seniman-lukis-jelekong-bertahan-di-tengah-badai

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke