Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Leaducator Kawal Keberagaman dan Kearifan Lokal dalam Organisasi

KOMPAS.com - Kalau bicara situasi sekarang, pertemuan antar budaya, bahasa, dan pengalaman menjadi tak terhindarkan, terlebih di tempat berkarya. Kita sering menemukan orang-orang yang beragam: ada yang dari Jawa, Sumatera, Kalimantan, Papua, Sulawesi, dan daerah-daerah lainnya.

Bahkan kita juga menemukan adanya orang-orang dari negara lain. Pertemuan ini menjadi ladang pembelajaran yang sangat baik bagi siapapun yang berada di dalam lingkungan tersebut.

Mereka menjadi punya kesadaran dan empati kultural bahwa setiap budaya punya ciri khasnya masing-masing.

Apabila kita melihat dari perspektif leaducation, pengamalan kearifan lokal menjadi peluang besar untuk ditumbuhkan dalam budaya organisasi.

Banyak kekayaan budaya yang bisa digali, dipahami, bahkan diterapkan ke dalam praktek kepemimpinan sehari-hari. Kebudayaan bisa menjadi kekuatan pendorong yang besar untuk melakukan kerja-kerja kreatif.

Ada banyak sudut pandang yang bisa diterapkan dalam berbagai pekerjaan.

Merangkul keragaman

Keragaman telah menjadi hal yang umum disini. Mudahnya kita temui keragaman adalah konsekuensi dari konektivitas yang disebabkan oleh teknologi. Konektivitas ini menyebabkan aliran nilai, norma, dan budaya lain masuk ke dalam diri kita.

Sehingga, kita pun jadi paham bahwa ada banyak kehidupan di tempat lain yang kita tak tahu dan nilai baru yang mungkin bertentangan dengan prinsip tetapi sebenarnya punya nilai yang baik.

Bicara soal itu, banyak perusahaan dan organisasi yang telah menyambut keragaman dengan sangat baik dan menjadikannya aspek yang harus dipenuhi.

Dalam survei Randstad sebuah firma HR global tahun 2021, perusahaan di wilayah Amerika dan Asia Pasifik menganggap keragaman dalam lingkungan kerja sangat penting bahkan paling tinggi dibandingkan aspek lainnya (Amerika sebesar 41 persen dan Asia Pasifik sebesar 40 persen).

Mereka sadar bahwa keragaman bisa menjadi aset bagi organisasi untuk menumbuhkan budaya belajar dan memperkaya pengalaman.

Jika kita mempersempit ruang lingkup pengamatan, berdasarkan riset dari McKinsey 2020, kesadaran akan keragaman terus meningkat. Mereka menggunakan studi kasus di Britania Raya dan Amerika Serikat dimana keragaman di tim kepemimpinan selama beberapa tahun terakhir meningkat.

Di tahun 2014, representasi etnis di kedua negara itu awalnya hanya 4 persen. Tiga tahun kemudian, yaitu di tahun 2017 menjadi 12 persen. Di tahun 2019 menjadi 13 persen.

Meski kenaikannya terbilang sedikit, tetapi kesadaran ini perlu jadi perhatian kita semua bahwa keragaman merupakan isu yang penting. Keragaman menunjukkan semangat inklusif di dalam tubuh organisasi.

Ada sebuah riset yang menunjukkan dampak positif inklusif terhadap budaya kerja.

Cloverpop, salah satu perusahaan pengembang platform pengambilan keputusan online menemukan tiga hal penting soal dampak inklusif: 87 persen tim membuat keputusan yang lebih baik, dua kali lebih cepat mengambil keputusan pada saat rapat, dan keputusan yang dilaksanakan oleh tim yang beragam 60 persen membawa hasil yang baik.

Hasil ini menjadi justifikasi bahwa tim yang inklusif dengan orang-orang yang beragam memiliki manfaat yang besar bagi keseluruhan organisasi.

Keragaman ini selaras dengan semangat leaducation yang menenkankan pada budaya kerja yang inklusif. Konsep leaducation memperhatikan bagaimana keragaman menjadi faktor penting bagi kemajuan organisasi.

Menurut Martin (2014), keragaman budaya punya empat dampak positif: anggota bisa menganalisis permasalahan dari banyak sudut pandang, semakin mudah mengatasi culture shock, menjadi informan budaya bagi organisasi, dan mempermudah transisi organisasi, khususnya menuju online.

Namun, bagaimana dengan Indonesia sendiri? Menurut riset terbaru dari 3M Asia 2021, hanya 30 persen pemimpin bisnis yang menempatkan kebudayaan dan 34% menempatkan keragaman sebagai prioritas utama.

Apakah ini cukup memprihatinkan itu masalah subjektivitas, tetapi kalau kita lihat dari sisi pengembangan budaya kerja misalnya, ini bisa menjadi peluang untuk meningkatkan kesadaran bahwa keragaman itu patut untuk diberi ruang yang sebesar-besarnya.

Terlebih, Indonesia punya banyak norma dan nilai daerah lain yang kaya.
Misalnya saja, dalam budaya Bugis, ada dua nilai yang dijunjung tinggi. Nilai itu dalam bahasa Bugis disebut ‘lempu’ (jujur) dan ‘getteng’ (tegas/konsisten).

Itu adalah salah satu contoh falsafah hidup di Indonesia. Masih banyak lagi yang bisa kita gali dan kembangkan untuk digunakan sebagai media pembelajaran efektif bagi anggota sekaligus pemimpin. Bukan hanyak falsafah kepemimpinan, tetapi bagaimana bekerja dan bersikap.

Kepemimpinan dan kearifan lokal

Terlalu banyak falsafah kepemimpinan dan nilai hidup di Indonesia dari sudut pandang kearifan lokal. Hal itu karena kearifan lokal telah ada sebelum Indonesia menjadi sebuah negara.

Kearifan lokal adalah nilai yang diwariskan turun-temurun oleh nenek moyang kita kepada anak-anaknya dan termanifestasikan dalam banyak bentuk: makanan, pakaian, dan masih banyak lagi.

Karena itu, nilai kearifan lokal tidak pernah mati, selalu hidup dan bertahan di era yang dimana budaya luar sekarang mendominasi pemikiran banyak pemimpin, khususnya pemimpin muda.

Leaducation menganggap kearifan lokal sebagai kekayaan yang tak ternilai. Falsafah hidup yang kaya menjadikannya sebagai bahan reflektif dan edukatif yang baik. Selain itu, kondisi masyarakat yang kental dengan budaya menjadikan kearifan lokal sebuah simbol dan praktek hidup.

Kearifan lokal menandakan sebuah kepemilikan budaya yang berciri khusus dimana hanya orang di daerah tertentu yang punya. Dalam perspektif bisnis, orang yang punya pengetahuan budaya bisa menjadi jembatan mengatasi cultural gap.

Ada beberapa praktek kepemimpinan yang menggunakan kearifan lokal sebagai tools yang efektif. Misalnya, pada saat Dedi Mulyadi menjabat sebagai Bupati Purwakarta periode 2008-2018, dia menegakkan semangat pembangunan melalui budaya.

Dalam tulisan Prihana, et.al. (2020), mereka menceritakan bagaimana pemerintahan Purwakarta membuat kebijakan untuk mendorong masyarakat disana mendekorasi daerah tempat tinggalnya dengan aksesoris khas Purwakarta: cetok (topi), boboko (keranjang nasi), hihid (kipas), aseupan (wadah memasak nasi), nyiru, kentongan.

Selain itu, masyarakat juga didorong melestarikan tradisi yang disebut beas perelek.
Ditambah juga, Kabupaten Purwakarta zaman Dedi Mulyadi juga banyak membuat patung di beberapa sudut kota.

Dalam riset Gustini, et.al. (2018), mereka memaparkan kalau patung itu dibuat dengan tujuan mempercantik kota. Selain itu, Pemkab Purwakarta mengatakan bahwa patung itu juga dibuat dengan tujuan membuat masyarakatnya bahagia.

Patung itu bisa menjadi tempat berfoto sekaligus menambah kotak pengetahuan karena terdapat nama-nama patung yang kebanyakan dari tokoh wayang budaya Sunda.

Kepemimpinan Dedi Mulyadi bisa menjadi contoh yang baik bagaimana seorang pemimpin mencampurkan kebijakan publiknya dengan nilai kearifan lokal. Hasilnya adalah kabupaten Purwakarta yang ciamik dan punya citra positif.

Pemerintahan Purwakarta berusaha dengan sebaik mungkin menanamkan kearifan lokal di masyarakatnya. Alhasil, mencampurkan kearifan lokal akan menghasilkan inovasi kebijakan yang unik dan berbeda dari yang lain.

Praktek pemerintahan Kabupaten Purwakarta ini menggarisbawahi peran penting kearifan lokal dalam pembangunan organisasi. Kalau ini diterapkan di setiap organisasi di keseluruhan sektor, hasilnya akan dahsyat sekali.

Banyak inovasi dan pengalaman baru yang bisa menjadi bahan pendidikan yang baik bagi semua pihak.

Ini juga bisa menjadi ajang untuk melestarikan nilai lokal dan memperkuat kesadaran bahwa Indonesia ini punya kekayaan yang luar biasa yang berasal dari ribuan tahun sejarah sehingga, budaya kerja tidak hanya dipenuhi oleh target-target yang harus dicapai, tapi bagaimana menerapkan kearifan lokal yang didapatkan itu di kehidupan sehari-hari.

Memperkuat kehadiran kearifan lokal

Nilai budaya lokal perlu dirawat dan dilestarikan. Tugas pemimpin adalah bagaimana menghadirkan semangat belajar, tidak hanya kepada anggotanya, tetapi dirinya sendiri juga.

Leaducation bersifat timbal balik dimana anggota dan pemimpin saling belajar dan memahami. Dan juga, baik pemimpin dan anggota pasti punya nilai daerah yang ingin diterapkan dan dibagikan ke banyak pihak.

Kita dapat ambil manfaat yang besar dari berbagai kearifan lokal yang ada di Indonesia. Bahkan, kalau bisa, kearifan lokal dapat menjadi basis bagi pembangunan budaya organisasi.
Konsep leaducation berusaha memperkuat penerapan kearifan lokal.

Misalnya, dengan menciptakan ruang inklusif bagi para anggota untuk mengekspresikan diri. Kalau misalkan kita melihat demografi tenaga kerja, organisasi akan dipenuhi oleh milenial dan generasi Z.

Mereka ingin agar komunikasinya lebih terbuka. Khususnya milenial, Hall & Austin (2016) mengatakan bahwa generasi ini menginginkan adanya "komunikasi yang sehat" dan "komunikasi hubungan terbuka yang bijaksana" serta "kemampuan untuk berbicara" dengan pemimpin tentang masalah atau masalah terkait pekerjaan.

Sedangkan cara komunikasi gen-Z menurut Gaidhani, et.al. (2019), gen Z memiliki cara berkomunikasi yang informal, individual dan sangat lurus dan media sosial adalah bagian penting dari kehidupan mereka.

Mengingat kedua generasi ini punya karakteristik yang unik, maka perlu diberikan ruang bagi mereka untuk berbagi cerita. Kedua generasi ini menurut pengamatan penulis suka berbagi cerita dan mendengarkan kisah orang-orang.

Ruang inklusif ini bisa menjadi cara untuk merekatkan hubungan di antara sesama anggota. Bonding dalam organisasi sangat penting untuk meningkatkan performa dan kenyamanan mereka bekerja.

Selain itu, laeducator perlu sekali untuk menerapkan kepemimpinan berbasis kearifan lokal. Misalnya di Jawa, ada falsafah Astabrata yang bisa diterapkan.

Di masyarakat Dayak, ada filosofi Huma Betang yang artinya mengedepankan muswarah mufakat, kesetaraan, kejujuran, dan kesetiaan. Dengan demikian, kita bisa menciptakan sebuah laboratorium budaya di lingkungan tempat kita berkarya.

Di samping menjadi laborarium budaya, kearifan lokal bisa memperkuat iklim inovasi. Misalnya, kota Denpasar menggunakan pendekatan kearifan lokal dalam pembuatan kebijakan publiknya.

Menurut Savira & Tasrin (2017), Kota Denpasar mengadopsi prinsip Sewaka Dharma dan filosofi kepemimpinan Asta Brata untuk membuat kebijakan bagi masyarakatnya.

Dengan dua nilai itu, pemerintah kota Denpasar menciptakan tata kelola yang keberlanjutan, inklusif, dan kontekstual.

Pengadopsian nilai kearifan lokal juga bisa diterapkan oleh banyak organisasi, terlebih bagi mereka yang beroperasi di daerah-daerah bahkan dalam manajemen bencana sekalipun.

Bevaola & Quamrul (2012) berpendapat bahwa kesuksesan implementasi manajemen bencana membutuhkan adaptabilitas tinggi terhadap kearifan lokal suatu daerah. Dengan kata lain, aspek budaya, nilai, dan norma suatu daerah menjadi penting.

Melihat dari aspek keragaman juga, banyaknya orang-orang dari berbagai budaya dapat menciptakan sebuah iklim kolaborasi yang unik.

Penelitian dari Hewlett, et.al. (2013) yang dimuat di Harvard Business Review mengungkapkan, sebanyak 45 persen perusahaan yang menerapkan keragaman bertumbuh pangsa pasar mereka.

Lalu, 70 persen lebih mengungkapkan bahwa perusahaannya menangkap pangsa pasar baru. Hasil riset mereka lainnya adalah bahwa anggota yang berada di budaya “speak-up” akan berkontribusi terhadap inovasi 3,5 kali lebih besar dari sebelumnya.

Dari riset ini, keragaman adalah suatu kekuatan yang dapat menciptakan keuntungan jangka panjang.

Riset-riset di atas menunjukkan bahwa penting sekali memperkuat kehadiran kearifan lokal, menghadirkan keragaman di dalam lingkungan kerja. Ada banyak sekali keindahan serta manfaat yang tercipta jika kita menciptakan budaya kerja yang beragam.

Apalagi di Indonesia, kearifan lokal masih belum banyak tergali. Lingkungan kerja menjadi kesempatan yang baik untuk menggali nilai filosofis dan praktis dari kearifan lokal para anggota dan pemimpin.

Alhasil, kedua belah pihak dapat pengalaman dan pengetahuan yang bernilai tinggi.

Konsep leaducation perlu diterapkan untuk menciptakan kultur seperti ini. Leaducator di Indonesia perlu menyadari potensi besar dari kearifan lokal di dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat.

Peninggalan sejarah nenek moyang harus dilestarikan. Bahkan, melihat kondisi sekarang, penulis menyadari bahwa semakin penting untuk kembali mendalami kearifan lokal agar tidak terlalu mengikuti arus masyarakat saat ini.

https://edukasi.kompas.com/read/2021/10/12/094057371/leaducator-kawal-keberagaman-dan-kearifan-lokal-dalam-organisasi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke