KOMPAS.com - Pembelajaran jarak jauh (PJJ) menjadi momok yang tidak bisa dilepas bagi siswa, guru, mahasiswa, dan dosen sepanjang masa pandemi Covid-19.
Momok itu bahkan bisa dibilang menakutkan bagi guru. Khususnya bagi mereka yang kurang pengalaman di bidang IT.
Karena, pelaksanaan PJJ banyak menggunakan aplikasi dari telepon genggam maupun laptop, seperti Zoom, Google Meet, dan sebagainya.
Salah satu guru yang merasakan bernama Rahmawati. Dia merupakan guru SMP Teladan, Jakarta Selatan.
Usianya saat ini hampir memasuki kepala 6, yakni 59 tahun.
Akibat faktor usia, dia mengalami banyak kendala saat PJJ.
"PJJ itu banyak guru kesusahan untuk belajar online, harus install aplikasi yang satu, aplikasi kedua, dan aplikasi lainnya. Itu rumit sekali," ucap Rahmawati kepada Kompas.com pada Rabu (27/10/2021) malam.
Adanya kendala itu, membuat dia tidak pantang menyerah. Dia akhirnya belajar dari anak-anaknya, teman, maupun saudara.
"Kalau tidak belajar, kita tertinggal. Terus, apa yang bisa kita ajarkan kepada anak-anak di sekolah?" keluhnya.
Selain kendala tak mahir di bidang IT, sebut dia, koneksi internet juga menjadi permasalahan.
"Kadang koneksi internet kita bagus, tapi tidak bagus di setiap siswa. Itu jadi kendala, yang membuat banyak siswa tidak paham akan pelajaran yang disampaikan," tegas dia.
Dia bersyukur atas sikap nyata pemerintah yang membagikan kuota gratis internet kepada siswa, guru, mahasiswa, dan dosen.
"Meski sudah diberikan, tapi tetap ajah ada kendalanya. Seperti siswa yang tidak masuk dan sebagainya," tegas dia dengan penuh lantang.
Guru TK Al-Hidayah yang berada di Tangerang Selatan, Dina merasakan hal yang sama, jika PJJ merupakan momok yang menakutkan saat pandemi Covid-19.
Pasalnya, guru saat PJJ tidak bisa menilai perkembangan siswa.
"Apalagi yang kita ajarkan anak-anak yang baru sekolah, jadi kita harus tahu perkembangan mereka. Makanya kesulitan sekali saat PJJ," ungkap Dina.
Dia bersyukur pemerintah membuka kembali pembelajaran tatap muka (PTM), walaupun sifatnya masih terbatas.
Saat PJJ, banyak sekali tugas yang menumpuk dan dibawa ke rumah. Itu semata, agar siswa bisa tetap belajar di rumah.
"Jadi kerjaan kita banyak, sudah saat sekolah online kita aktif, setelah itu juga kita aktif membuat tugas dan menilainya. Jadi banyak kerjaan saat PJJ," terang dia.
Dampak negatif pelaksanaan PJJ
Akibat pelaksanaan PJJ, banyak siswa yang tidak sekolah. Karena, mereka mencari duit untuk uang jajannya setiap hari.
"Biasanya dia sekolah dapat uang jajan, pas PJJ dia tidak dapat uang jajan. Karena itu mereka parkir mobil dan motor setiap harinya, agar dapat uang jajan. Tapi, sekolah mereka ditinggalkan. Itu yang disayangkan," ucap Ibu Nur yang juga merupakan guru di SMP Teladan.
Jadi, banyak siswa yang tertinggal pelajaran. Ada juga siswa yang mau hampir putus sekolah.
"Jika kita tidak bujuk, agar mereka tidak putus sekolah. Karena tinggal mereka sekarang jauh di tempat neneknya, tidak lagi di rumah yang dekat sekolah. Itu akibat pandemi Covid-19, orangtua mereka banyak yang putus kerja, sehingga berdampak ke anak-anaknya," tutur Nur.
Dia berharap pemerintah bisa lebih peka terhadap siswa yang putus sekolah akibat pelaksanaan PJJ beberapa waktu lalu.
Jika mereka tidak disentuh, maka berdampak pada masa depannya.
"Jangan sampai masa depan anak-anak kita hancur akibat pandemi Covid-19. Jadi Bapak Mendikbud Ristek Nadiem Makarim harus terjun langsung ke sekolah-sekolah memang yang membutuhkan," tukas dia.
https://edukasi.kompas.com/read/2021/10/29/134841871/perjuangan-guru-jalani-pjj-sepanjang-15-tahun