KOMPAS.com - Selama kurun waktu 2015 hingga 2019, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat kenaikan signifikan pada lahan yang terkontaminasi limbah bahan berbahaya dan beracun atau B3.
Pada 2019 misalnya, luasan lahan terkontaminasi naik sebesar 298 persen menjadi 840 ribu meter persegi.
Limbah tak bisa lepas dari aktivitas industri, salah satunya kegiatan hulu migas.
Helmy dan Kardena (2015) dalam tulisan di Journal of Petroleum and Environment Biotechnology 2015 menyebutkan bahwa dengan tingkat produksi minyak 860 ribu barel per hari, terdapat limbah oil sludge sekitar 51 ribu meter kubik tiap tahun.
Oil sludge adalah limbah lumpur minyak bumi yang terjadi dalam proses pengolahan, penyaluran, dan penampungan minyak bumi.
Athallah Naufal, mahasiswa Program Studi Teknik Perminyakan Universitas Pertamina menemukan cara efektif mengolah limbah oil sludge.
“Untuk melarutkan oil sludge, dibutuhkan surfaktan. Inovasi yang saya usung adalah pembuatan biosurfaktan dari limbah minyak jelantah. Selain lebih ramah lingkungan karena menggunakan bahan nabati, biosurfaktan ini juga berpotensi menjadi alternatif mengurangi limbah minyak jelantah,” ungkap Athallah dalam keterangan tertulis Universitas Pertamina.
Inovasi pengolahan limbah karya Athallah, mencuri perhatian juri dan berhasil membuatnya menyabet juara pertama di ajang bergengsi Society of Petroleum Engineers (SPE) Asia Pacific Regional Student Paper Contest.
Alhasil, Athallah akan mewakili Regional Asia-Pasifik untuk bertanding pada Konferensi Internasional SPE di Houston, Oktober 2022 mendatang.
Ide pengolahan limbah oil sludge, menurut Athallah, didapatkannya dari hasil pengamatan di beberapa perusahaan migas.
“Pengolahan limbah oil sludge kebanyakan dilakukan dengan bantuan pihak ketiga. Jadi, perusahaan harus menampung limbah di daerah pengeboran sampai mencapai volume tertentu, baru bisa diserahkan ke pengolah limbah," ujar Athallah.
Dengan inovasinya, perusahaan bisa melakukan pengolahan limbah oil sludge secara on site. Penanganannya juga cukup cepat. Efisiensinya mencapai 82,7 persen.
Di samping itu, biosurfaktan dari minyak jelantah juga lebih tahan terhadap perubahan temperatur.
Athallah dan Tim yang beranggotakan Zhorifah Aqillah Putri, Chang Karsten, Ivor Hanif Hermawan, dan Katarina Novita Talo, juga berkesempatan mewakili Regional Asia-Pasifik di ajang Petrobowl yang juga diselenggarakan oleh SPE.
Tim berhasil menyabet juara ke-5 dari 32 tim terbaik yang telah diseleksi di tingkat regional.
https://edukasi.kompas.com/read/2021/11/15/142020271/mahasiswa-indonesia-wakili-asia-pasifik-di-ajang-kelas-dunia-beri-solusi