KOMPAS.com - Alumnus Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Airlangga (Unair), Muhammad Miftahussurur menjadi satu-satunya peneliti dari Indonesia yang menerima penghargaan Expertscape World Expert sebagai top 0,1 % peneliti yang menulis tentang bakteri Helicobacter Pylori.
Helicobacter pylori merupakan sejenis bakteri yang sering dikenal sebagai penyebab utama tukak lambung.
Terhitung sepuluh tahun meneliti, ia menghasilkan 98 publikasi terindeks Scopus. Di mana 80 di antaranya membahas mengenai Helicobacter pylori. Sehingga tak heran jika Expertscape menyebutnya sebagai “Pakar Dunia”.
“Saya kaget tapi Alhamdulillah. Walaupun ini tidak mencerminkan kesemua hal tentang pylori, tetapi saya merasa daftar itu cukup adil karena saya lihat di urutan 1, 2, dan 3 memang itulah ahli pylori dunia,” ucapnya seperti dilansir dari laman Unair, Rabu (17/11/2021).
Saat meneliti bakteri pylori, Miftah pernah harus mengumpulkan 1.000 orang untuk mendapatkan 100 bakteri. Sambil membawa alat endoskopi, ia mulai berkeliling Nusantara.
Di Indonesia sendiri, jelas Miftah, bakteri pylori tinggi hanya pada etnik tertentu, di antaranya Suku Batak, Bugis, Papua, dan Timor.
Sedangkan suku dominan seperti Jawa, Sunda, atau Melayu mempunyai prevalensi bakteri pylori yang rendah bahkan hanya di angka dua persen.
“Angka dua persen itu kan artinya dari 100 orang hanya dua orang yang positif. Dibandingkan dengan Suku Batak yang mencapai 40 persen atau Suku Bugis yang sekitar 38 persen,” papar Wakil Rektor Bidang Internasionalisasi, Digitalisasi dan Informasi (IDI) Unair itu.
Temuan itu lantas menjadi fenomena yang menarik perhatian dunia. Sebab, jelasnya, rata-rata tingkat prevalensi Helicobacter pylori di seluruh dunia adalah 40 sampai 60 persen.
“Ini menjadi pusat perhatian. Di situlah publikasi-publikasi kita bisa diterima. Di negara-negara maju seperti Jepang prevalensinya mencapai 40 sampai 60 persen. Sedangkan negara-negara Afrika di angka 60 sampai 70 persen. Nah, kita ini hanya dua persen, makanya menarik,” terang Miftah.
Sebelumnya, Miftah juga kerap diminta memaparkan hasil kajiannya di Taiwan dan Korea Selatan.
Menurutnya, tidak ada bidang penelitian yang sia-sia. Dahulu ia berpikir bahwa perspektif penelitian Helicobacter pylori sangat rendah. Tapi hal itu justru membawanya studi lanjut ke Jepang hingga Amerika.
Atas keberhasilannya itu, Miftah berharap dapat memacu para peneliti Indonesia, bahwa molecular epidemiologi masih menjadi penelitian yang cukup prospektif untuk dijalani.
“Walaupun bidang penelitian kita tidak terlalu prospektif, tetapi jika tekun pada suatu bidang terus-menerus ternyata juga memberikan dampak yang cukup besar,” pungkasnya.
https://edukasi.kompas.com/read/2021/11/17/150440071/akademisi-unair-masuk-top-01-persen-pakar-dunia-helicobacter-pylori