KOMPAS.com - Untuk menghentikan keberulangan tindakan kekerasan seksual di kampus, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) menerbitkan Permen 30 tahun 2021.
Adanya Permendikbud 30 tersebut menjadi payung hukum untuk menindak segala sesuatu yang masuk dalam kategori kekerasan seksual di perguruan tinggi.
Menurut Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran (Unpad) Unpad Prof. Aquarini Priyatna, untuk memastikan bahwa kampus aman dari segala macam perundungan dan kekerasan menjadi hak dan kewajiban semua orang dalam kampus.
Prof. Aquarini berharap, ada mekanisme pelaporan yang baik di lingkungan kampus dan dapat menjamin semua pihak dapat terlindungi. Sejumlah kendala sering ditemui dalam pelaporan, seperti rumitnya prosedur pelaporan hingga prosedur pelaporan yang tidak berpihak pada korban.
Kekerasan seksual bisa terjadi dimana saja
Hal ini dibahas dalam webinar yang diadakan Unpad dengan tema 'Mari Kita Cegah Tindakan Kekerasan Seksual dan Perundungan (Bullying) di lingkungan Kampus'.
Sementara itu Kepala Pusat Riset Gender dan Anak Unpad Budiawati Supangkat menyampaikan, kekerasan seksual merupakan kejahatan yang dapat terjadi di mana saja. Baik di lingkup publik maupun privat.
Menurutnya, lingkungan kampus sering dipersepsikan sebagai ruang aman. Sehingga kekerasan yang terjadi kerap tersembunyi dan tidak terlaporkan.
"Pelakunya pun tidak dihukum setimpal. Akibatnya, korban mengalami trauma seumur hidup," urai Budiawati Supangkat.
Dia menilai, jika tidak ada mekanisme atau peraturan mengenai penanganan kekerasan seksual. Hal tersebut akan membawa kesengsaraan dan ketidakadilan bagi korban.
Unpad sudah memiliki peraturan rektor nomor 16 tahun 2020
Sebelum Kemendikbud Ristek menerbitkan Permendikbud 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Kampus, Unpad sudah lebih dahulu mengeluarkan Peraturan Rektor nomor 16 tahun 2020 tentang Pencegahan dan Penanganan Pelecehan Seksual di Lingkungan Unpad.
"Kita sebetulnya tidak tertinggal. Kita sudah menyiapkan amunisi untuk pencegahan terjadinya kekerasan seksual," ungkap Budiawati.
Ia pun berharap, dengan adanya Permendikbud tersebut, penyempurnaan peraturan dan mekanisme di lingkungan Unpad dapat dilakukan.
Selain itu, sosialisasi mengenai responsif gender, perundungan, dan kekerasan seksual dapat terus dilakukan dengan sasaran mahasiswa, tenaga kependidikan, dosen, dan berbagai pihak terkait.
"Ini dilakukan mengingat tindak kejahatan tersebut dapat terjadi pada siapa saja. Yang rentan itu bukan hanya mahasiswa tetapi semua lini. Bisa tenaga kependidikan, bisa juga para dosen, baik laki-laki maupun perempuan, maupun pihak-pihak terkait dengan Unpad," tandasnya.
Mencegah kekerasan seksual tanggung jawab bersama
Pembicara lain, Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unpad Binahayati Rusyidi, menambahkan, sikap diam atau ketidakberpihakan seseorang dalam merespons kekerasan seksual sebenarnya menunjukkan bahwa ia menoleransi hal tersebut.
Sehingga kebersamaan diperlukan sebagai bentuk keadilan bagi korban sekaligus mencegah berkembangnya toleransi terhadap kekerasan seksual.
Mencegah terjadinya kekerasan seksual tidak bisa hanya diserahkan kepada universitas tetapi juga semua tenaga kependidikan, dosen, mahasiswa.
"Kita harus sama-sama bekerja untuk merespons masalah ini," kata Binahayati.
https://edukasi.kompas.com/read/2021/11/28/184925871/akademisi-unpad-cegah-kekerasan-seksual-jadi-tanggung-jawab-bersama