KOMPAS.com - Pasca-erupsi Gunung Semeru masih berada di pengungsian. Bahkan warga yang rumahnya hancur terkena letusan material vulkanik akan direlokasi. Hal ini untuk mencegah mereka mengalami bencana serupa di masa yang akan datang.
Terkait rencana relokasi warga terdampak erupsi Semeru, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) mengemukakan inovasinya.
Tim peneliti ITS khususnya dari Pusat Penelitian Mitigasi, Kebencanaan, dan Perubahan Iklim (MKPI) ITS merumuskan konsep hybrid hunian sementara (huntara) dan hunian tetap (huntap) pascabencana Gunung Semeru.
Hal itu sempat dibahas dalam sebuah diskusi yang diadakan secara daring, beberapa waktu lalu.
Tahan gempa dan abu vulkanik
Kepala Pusat Penelitian MKPI ITS Adjie Pamungkas mengatakan diskusi tersebut bertujuan untuk memberikan solusi dalam upaya permukiman kembali (resettlement) pascabencana erupsi Gunung Semeru.
Dalam diskusi tersebut, diusulkan sebuah konsep hybrid hunian sementara (huntara) dan hunian tetap (huntap). Hal ini dilakukan supaya menghindari potensi konflik akibat delay yang kerap terjadi pada saat pembangunan huntara maupun huntap.
"Selain itu, konsep modular tahan gempa dan abu vulkanik juga bisa diterapkan untuk fasilitas umum. Seperti kantor desa, sekolah, puskesmas, dan lain sebagainya," kata Adjie seperti dikutip dari laman ITS, Selasa (28/12/2021).
Dibangun dengan cepat dan mudah dipindahkan
Diskusi ini juga dihadiri oleh beberapa peneliti dari ITS yakni Johanes Krisdianto dan Wahyu Setyawan dari Departemen Arsitektur, Bambang Piscesa dari Departemen Teknik Sipil, dan Kesumaning Dyah Larasati ST MArs selaku asisten peneliti di MKPI.
Menurut Wahyu Setyawan, masyarakat desa harus responsif dan resilien terhadap bahaya bencana di kaki Gunung Semeru. Maka dari itu, dengan implementasi konsep resettlement ini, masyarakat desa di kaki Gunung Semeru diharapkan dapat berpartisipasi dalam pemulihan pascabencana.
"Mulai dari meningkatkan perekonomiannya, hingga meningkatkan pengetahuannya mengenai mitigasi bencana alam," terang Wahyu.
Dalam diskusi tersebut Johanes memaparkan konsep dari rumah tahan gempa dan abu vulkanik. Rumah tersebut dibentuk dengan atap yang mampu menahan curahan abu vulkanik gunung berapi. Selain itu, rumah tersebut harus berbahan material sederhana, kokoh, dan mudah dicari di daerah Semeru.
"Hal ini dilakukan untuk mempermudah masyarakat desa dalam mengembangkan rumah mereka secara mandiri tanpa keahlian khusus. Rumah yang dikonsep oleh tim ITS ini dapat dibangun dengan cepat dan dapat dipindahkan secara mudah," urainya.
Gunakan material ringan
Bambang Piscesa berpendapat bahan material yang digunakan harus ringan sehingga dapat dipindahkan dengan mudah dan tidak mudah roboh ketika terkena dampak gempa.
"Rumah tersebut sudah memiliki fasilitas sesuai standar rumah inti, yaitu terdapat kamar mandi, kamar tidur, maupun dapur," bebernya.
Keunggulan lain dari hybrid hunian sementara (huntara) dan hunian tetap (huntap) pascabencana Gunung Semeru ini bersifat hybrid. Yaitu bisa menjadi hunian sementara, kemudian dapat dikembangkan masyarakat menjadi hunian tetap mereka.
"Rumah tersebut dapat direduksi seperti ruang studio maupun ditambah menjadi rumah yang lebih luas," imbuhnya.
Wahyu berharap pembangunan permukiman ini bisa ditambah dengan penanaman hutan bambu di sekitar kaki Gunung Semeru.
"Penanaman bambu ini dapat menjadi alarm bagi warga desa karena bambu akan mengeluarkan suara keras ketika terkena awan panas," ungkapnya.
Diharapkan konsep ini dapat segera direalisasikan. Sehingga, rumah yang dibangun ke depannya bisa lebih ramah terhadap bencana alam, khususnya di daerah kaki Gunung Semeru.
"Kami berharap rumah tersebut bisa lebih resilien dan tidak mudah roboh," pungkasnya.
https://edukasi.kompas.com/read/2021/12/28/153621871/ini-kelebihan-konsep-hunian-bagi-pengungsi-semeru-yang-digagas-tim-its