KOMPAS.com - Inovasi dan gagasan para sivitas akademika bisa membawa Indonesia menjadi negara maju.
Bahkan inovasi maupun gagasan yang diberikan sivitas akademika bisa menjadi solusi permasalahan yang dihadapi masyarakat.
Seperti yang dilakukan Dosen Vokasi Universitas Dipoengoro (Undip) Mohamad Endy Yulianto. Dia dan tim saat ini tengah mengembangkan nano shogaol jahe sebagai ramuan antikanker.
Bahkan Endy Yulianto hingga akhir 2021 ini sudah menghasilkan 22 paten. Hak kekayaan intelekrtual yang dimiliki peraih penghargaan Dosen Pemilik Paten Granted Tahun 2021 Terbanyak di Undip ini terdiri dari 3 hak kekayaan intelektualnya berstatus paten biasa, 18 paten sederhana dan 1 hak cipta.
Teliti jahe jadi obat antikanker
Bidang kajian dan inovasi yang dihasilkan lulusan Teknik Kimia Undip tahun 1998 dan Magister Teknik Kimia ITB tahun 2003 adalah bidang proses kimia sesuai dengan pendidikannya.
Endy mengawali karya inovasinya pada tahun 2015. Ide gagasannya berupa Super Teh Hijau Kompetitif melalui Proses Inaktivasi Enzimatis dengan menggunakan Mechanically Dispersed-Rotary Steamer mendapatkan Paten Sederhana dengan nomer registrasi No. ES09201500066.
Tak hanya berhenti disitu, Endy terus berkarya dan menghasilkan inovasi bermanfaat lainnya. Tahun 2020 dia berhasil meriah 9 paten. Dan di tahun 2021, 7 paten lagi berhasil diraihnya.
"Saat ini saya dan tim sedang mengembangkan penelitian yang berfokus pada penanganan penyakit kanker. Kajiannya diberi tema 'Pengembangan Produk Nano Shogaol Jahe sebagai Antikanker melalui Teknik Fotoekstraksi-UV dengan Air Subkritis'," ungkap Endy seperti dikutip dari laman Undip, Kamis (30/12/2021).
Prihatin mahalnya biaya kemoterapi penderita kanker
Penelitian ini didorong atas keprihatinannya terhadap mahalnya biaya kemoterapi yang harus ditanggung penderita kanker di Indonesia.
Selain mahal, bahan baku yang dipakai pada proses penanganan pasien kanker 90 persen masih harus diimpor.
"Pengalaman adik kandung saya sendiri, saat melakukan kemoterapi dalam sebulan bisa mengeluarkan uang antara Rp 30 juta hingga Rp 60 juta. Padahal biaya itu sudah ada diskon," imbuh Endy.
Dia menambahkan, dengan taksiran tarif tersebut, bisa dibayangkan jika masyarakat yang secara finansial kurang mencukupi dan harus membeli obat tersebut. Tentu hal ini sangat memberatkan masyarakat.
"Dari pengalaman itulah, saya mencoba mengupayakan memanfaatkan hasil alam di Indonesia yang sangat kaya manfaatnya salah satunya adalah tanaman jahe," papar Endy.
Dari pemikiran tersebut, lanjut Endy, dia bersama tim melakukan pengembangan shogaol jahe melalui senyawa biokatif sebagai obat herbal untuk kemoterapi bagi para penderita kanker.
Menurut dia, produksi nano shogaol jahe merupakan salah satu upaya peningkatan kemandirian bangsa dalam pemenuhan obat dan bahan baku obat yang berdaya saing tinggi.
Kembangkan produk nano shogaol sebagai antikanker
Produksi ekstrak senyawa aktif Jahe mampu meningkatkan harga produk hingga 80,8 kali lebih tinggi dibandingkan apabila dijual dalam bentuk rimpang jahe.
Perlu diketahui, produk-produk derivatif Jahe seperti shogaol dan 6 gingerol di pasaran harganya sangat mahal.
Untuk shogaol Rp 10.640.000/10 miligram, sedangkan gingerol Rp 8.806.500/10 miligram.
"Padahal produk tersebut sangat dibutuhkan dalam proses kemoterapi. Untuk itu perlu pengembangan produk nano shogaol sebagai antikanker dengan pengembangan high efficient system fotoekstraksi-uv menggunakan pelarut air subkritis," tandas Endy.
Dia mengungkapkan, karena shogaol pada jahe ini sangat luar biasa dan mampu mengembor kanker dengan adanya shogaol melalui bioaktif pada jahe. Sehingga ini dapat membantu terapi untuk penyembuhan bagi para penderita kanker itu sendiri.
Produk shogoal Jahenya harus dibuat nano karena pada saat delivery obat tersebut ke dalam tubuh bisanya kalau sudah kemo tubuh sangat rentan dan akut dan kadang suhu tubuh tinggi dan tidak stabil.
Sehingga untuk masuk ke dalam, obat itu belum sampai yang ditargetkan senyawanya bisa pecah duluan.
"Maka dari itu saya bersama tim mencoba mengubah senyawa shogaol untuk dinanokan dengan dilindungi dan dilapisi sehingga ketika menggunakan obat ini bisa sampai ke target yang dituju," imbuh Endy.
Bisa dibeli dengan harga terjangkau
Penelitian jahe sebagai obat kanker ini berhasil mendapat dana dari Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Direktorat Jenderal Riset dan Pengembangan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi untuk masa penelitian selama 3 tahun, dari 2020 hingga 2022.
Sampai tahun ke-2 dari program berjalan dengan lancar, bahkan mencapai progres yang menggembirakan karena sudah dapat memproduksi nano shogaol jahe sebagai antikanker yang mengarah pada well-proven technology berbasis zero waste.
Pada tahun ketiga, tim ini akan bekerjasama dengan orang-orang farmasi dan pemerintah untuk membuat obat herbal nano shogoal jahe menjadi obat berbentuk kapsul. Sehingga mayarakat dapat membeli dengan mudah dengan harga terjangku.
"Semoga bisa membantu masyarakat khususnya orang-orang yang berjuang untuk sembuh dari penyakit kanker," tutup Endy.
https://edukasi.kompas.com/read/2021/12/31/145510971/pemilik-22-paten-dosen-undip-teliti-jahe-jadi-obat-antikanker