KOMPAS.com - Selama ini, mahasiswa doktoral (S3) sulit lulus karena terhambat indeks Scopus. Demikian diungkapkan Anggota Komisi X DPR RI Andreas Hugo Pareira.
Untuk itu, ia meminta Kemendikbud Ristek untuk mengkaji kembali prosedur tersebut di Indonesia. Sebab, salah satu syaratnya adalah publikasi penelitian melalui jurnal internasional terindeks Scopus.
"Ini sangat birokratis dan seringkali terhambat karena rezim Scopus. Kita masuk dalam perangkap pada pengakuan Scopus," ujar Andreas seperti dikutip dari laman DPR RI, Jumat (7/1/2022).
Ia menilai ada keresahan sebagian besar kalangan dosen atau peneliti serta mahasiswa program doktoral. Tentu terkait indeks Scopus tersebut.
Selain hasil riset yang memenuhi syarat, mereka juga harus merogoh biaya lebih dalam supaya karya ilmiahnya dapat indeks dari Scopus.
"Scopus ini tidak bertanggung jawab dan memberikan reward apapun untuk kepentingan pendidikan tinggi kita," imbuhnya.
Harus mampu besaing skala global
Meski demikian, Andreas mengakui perguruan tinggi Indonesia tetap harus memiliki kriteria akademis dengan standar mutu dan kualifikasi nasional untuk mampu bersaing dalam skala global.
"Ini yang harus menjadi pertimbangan Kemendikbud dalam menilai kualifikasi karya-karya ilmiah dari para akademisi kita. Jadi, tidak mengikuti jalur scopus, tidak berarti kita akan mengobral gelar profesor," jelas dia.
Sebab, hal ini bisa berimplikasi pada saling curiga antarperguruan tinggi mengenai mutu dan kualifikasi gelar profesor antar perguruan tinggi dalam negeri.
Selain itu, jangan sampai dihapuskannya kewajiban publikasi di Scopus tersebut, membuat hilangnya kepercayaan dunia pendidikan baik secara nasional maupun internasional terhadap kualifikasi dunia perguruan tinggi.
"Mengingat sangat beragamnya mutu dan standar kualifikasi perguruan tinggi kita saat ini," terangnya.
Diketahui, Mendikbud Ristek Nadiem Makarim menyepakati usulan melepaskan diri dari ketergantungan jurnal ilmiah yang harus terindeks internasional.
Tentunya semua ini karena searah dengan merdeka belajar. Namun secara spesifik adalah otonomi universitas untuk menentukannya.
Lebih penting lagi, universitas bisa merdeka secara finansial. Hal ini, agar bisa membebaskan perguruan tinggi untuk mengangkat guru besarnya sendiri secara otonom.
https://edukasi.kompas.com/read/2022/01/09/175230371/komisi-x-dpr-mahasiswa-s3-sulit-lulus-karena-rezim-indeks-scopus