KOMPAS.com - Media sosial (medsos) selalu membawa tren tersendiri bagi masyarakat. Setelah marak penggunaan stiker Add Yours di Instagram, belakangan muncul fenomena penggunaan trilingual atau multilingual.
Fenomena ini cukup menggelitik karena netizen diajak membaca sebuah tulisan dengan menggunakan beberapa bahasa sekaligus.
Bahkan Instagram resmi @bipakemdikbud pun tidak ketinggalan tren tersebut. Admin akun Instagram membuat paragraf yang mencampur beberapa bahasa yakni bahasa Indonesia, bahasa Sunda, bahasa Inggris, dan bahasa Korea.
Pakar bahasa Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta Muhammad Rohmadi menanggapi fenomena bahasa ini.
Fenomena multibahasa ditilik dari linguistik fungsional
Menurut Rohmadi, fenomena ini dapat ditilik dari linguistik fungsional yang berdimensi pada triadik yakni bentuk, fungsi, dan konteks. Konteks memegang peranan penting dalam penggunaan multilingual atau multibahasa pada kehidupan sehari-hari. Tuturan tersebut pun memiliki maksud tersirat khusus.
"Di situ pasti ada implikatur tersendiri. Implikaturnya apa yakni maksud tersiratya apa?," terang Rohmadi seperti dikutip dari laman UNS, Kamis (20/1/2022).
Rohmadi menjelaskan, pertama, ada yang menggunakan multibahasa sebagai pembeda dirinya dengan orang lain. Ada yang menggunakan multibahasa untuk menjaga reputasi bahwa dia menguasai banyak bahasa. Ada pula yang bertujuan menarik pembaca atau penonton dan juga bertujuan sebagai daya persuasif.
"Ini masing-masing terintegrasi dalam fungsi kebahasaan," jelas Rohmadi.
Indonesia memilili penutur tribahasa terbesar di dunia
Dia mengungkapkan, fenomena multibahasa di Indonesia bisa dikatakan lumrah karena berdasarkan survei yang dilakukan oleh laman SwiftKey, Indonesia merupakan negara yang memilili penutur tribahasa terbesar di dunia.
Indonesia unggul di atas Israel dan Spanyol yang berturut-turut menempati posisi kedua dan ketiga. Penggunaan multibahasa ini, lanjut Rohmadi, menandakan bahwa penuturnya memiliki banyak wawasan sehingga berusaha untuk mengolaborasikan, mengkreasikan, dan menginovasikan bahasa yang dikuasai.
Banyak faktor masyarakat Indonesia menjadi penutur tribahasa
Rohmadi menambahkan, banyak faktor yang menyebabkan masyarakat Indonesia merupakan penutur tribahasa atau multibahasa. Faktor pertemuan budaya dan perkembangan teknologi disebut paling dominan mengakibatkan fenomena ini.
"Trilingual ini bisa terjadi akibat pertemuan budaya dari berbagai wilayah dan perkembangan teknologi. Dengan perkembangan teknologi itu, kita sekali ketuk bisa masuk ke semua lini. Kita tidak bisa bahasa apa pun tinggal buka google bisa tahu artinya," ungkap dosen Sosiopragmatik di S2 Pendidikan Bahasa Indonesia UNS ini.
Rohmadi menilai, dengan menguasai beberapa bahasa, penutur sering kali mencampur bahasa yang mereka kuasai saat berbicara atau pun menulis.
Meski dikhawatirkan dapat merusak bahasa, Rohmadi menerangkan, hal itu harus dikembalikan lagi ke konteks pemakainya.
"Merusak dan tidak itu bergantung konteks pemakainya. Kalau pemakai melihat konteksnya, pemakai tidak akan menggunakan itu kalau konteksnya formal. Sering kali mereka menggunakan multilingual di konteks nonformal," beber Rohmadi.
Penutur multibahasa dapat menerapkan kedewasaan
Maka dari itu, pemakai bahasa ini harus empan papan lan panggonan dan bersikap dewasa dalam berbahasa. Kedewasaan itu diukur dari apa yang mereka pikirkan kemudian menjadi apa yang mereka katakan.
"Apa yang mereka katakan itu menjadi tindakan. Tindakan-tindakan itu menjadi kebiasaan dan kebiasaan akan menjadi karakter," imbuh dosen yang juga menjabat sebagai Ketua Asosiasi Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia (Adobsi) ini.
Rohmadi berpesan supaya para penutur multibahasa dapat menerapkan kedewasaan berbahasa. Kedewasaan in dapat dilihat dari bagaimana seseorang menggunakan bahasa sesuai dengan situasi yang berlangsung.
"Kedewasaan berbahasa itu terbangun secara situasional. Kedewasaan itu bergantung lawan tuturnya siapa, situasinya seperti apa, dan orientasinya apa," tutupnya.
https://edukasi.kompas.com/read/2022/01/20/081917671/fenomena-trilingual-di-media-sosial-begini-tanggapan-pakar-bahasa-uns