Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Siswa, Seperti Ini Kerajaan Samudra Pasai dalam Jalur Pelayaran

KOMPAS.com - Bagi siswa sekolah yang sedang belajar sejarah mengenai Kerajaan Samudra Pasai, maka harus paham. Nama Samudra Pasai sangat terasosiasi dengan kesultanan Islam pertama di Indonesia.

Mengutip dari laman Jalur Rempah Kemendikbud Ristek, Samudra Pasai adalah salah satu kesultanan yang terletak di muara sungai. Samudra kala itu hanya sebuah kampung (gampong).

Letaknya kira-kira 15 kilometer dari Lhokseumawe, ibu kota Kabupaten Aceh Utara. Kampung Samudra ini kemudian lebih sering dikenal dengan sebutan Samudra Pasai ketika menjelma menjadi kesultanan pada abad 13.

Nama ibu kota kerajaan kala itu adalah Pase, namun beberapa orang lebih senang menyebutkannya dengan nama Camotora (yang sangat mungkin merujuk pada kata Samudra). Kerajaan tersebut mempunyai kota-kota besar dan banyak penduduknya.

Jadi tujuan perdagangan

Adapun lokasinya yang berada di pinggir Selat Malaka membuat Samudra Pasai kemudian terekspos oleh dunia internasional. Banyak bangsa berlayar dan berdagang hilir mudik ke Samudra Pasai, sebagai titik-titik persinggahan dalam jalur pelayaran jarak jauh dari India, Jazirah Arab, maupun Afrika.

Hal ini bahkan berlangsung pada awal-awal abad masehi. Pada perkembangan selanjutnya, barulah orang-orang Eropa turut nimbrung meramaikan perdagangan di kawasan Malaka, termasuk Samudra Pasai di dalamnya.

Tak hanya itu saja, dari catatan perjalanan orang-orang Tionghoa, Samudra Pasai senantiasa menjadi kota pelabuhan yang dijadikan tujuan pelayaran dan perdagangan.

Sebagaimana diteliti oleh J.V. Mills dalam “Chinese Navigations in Insulinde About AD 1500” yang terbit di Archipel Vol. 18, trayek para pelayar dari Tiongkok yang kerap dikunjungi di daerah Selat Malaka, yakni:

  • Pulau Berhala (Tanhsii)
  • Aru (Ya-lu) Ujung Peureulak (Pa-lut-ou)
  • mengelilingi Chishii-wan tou
  • Tanjung Jambuair
  • Samudra Pasai (Su-menta-la)

Dari Samudra Pasai ini, mulai berlayar lagi menuju arah Pulau We (Ch ‘ieh-nan-mao) dan akan ketemu kapal-kapal yang berlayar dari Masulipatam dan dari Quilon sepanjang jalur dari Pulau We ke Lambri (Nan-wu-li).

Dari Pulau We ke arah utara Pulau Rondo (Lung-hsien-shu) untuk kemudian ke arah barat Srilangka dan Asia bagian barat, dan yang ke arah barat laut, yaitu ke Bengal.

Sedangkan untuk menjamu para pelancong, Pasai memiliki pasar pantai yang letaknya tidak jauh dari bandar. Di sana, segala transaksi terjadi begitu dinamis, entah itu budaya maupun ekonomi.

Banyak penjual, baik lokal maupun internasional, memperdagangkan komoditas mereka. Namun umumnya, barang-barang impor lebih banyak beredar ketimbang barang lokal.

Mulai dari kain, cita, hingga porselen, menjadi barang yang dilego oleh pendatang. Sementara, orang setempat menawarkan ikan, garam, beras, gula, kelapa, sutera, barus, dan berbagai komoditas daerahnya untuk dijual kepada para pendatang.

Rempah-rempah tidak hanya dijual oleh pedagang dari India, namun juga pedagang dari berbagai penjuru Nusantara. Untuk mendapatkan komoditas pertanian yang kerap dihasilkan daerah pedalaman dengan harga lebih murah.

Seperti sayuran, buah-buahan, dan palawija, para pelancong juga dapat mengunjungi pasar pedalaman. Pasar ini letaknya tidak jauh dari pusat pemerintahan maupun desa-desa.

Tentunya, dari sini kita bisa melihat perbedaan bahwa jenis barang yang diperdagangkan memberi corak atau menandai basis perekonomian tipe-tipe kota yang bersangkutan. Di mana ekonomi pada kota pantai berbasis perdagangan, sedangkan basis ekonomi kota pedalaman berdasarkan pertanian agraris.

Sedangkan terkait kuantitas, ekspor lada bisa mencapai 8.000-10.000 bahar per tahun. Ekuivalensinya bila satu bahar kira-kira 350 kilogram atau seberat rerata satu ekor buaya sungai nil, maka per tahun Samudra Pasai bisa menjual 2.800 sampai 3.500 ton.

Selain itu, kualitas lada Samudra tidak lebih baik dari lada cochin. Ia tidak begitu besar, lebih cekung, kurang tahan lama, dan yang terpenting aromanya tidak begitu harum.

Terapkan bea cukai

Sebagaimana kerajaan-kerajaan lain di kawasan Selat Malaka, Samudra Pasai juga menerapkan bea cukai untuk barang ekspor. Setiap bahar yang diekspor dibebani sebesar satu maz (kira-kira 1/16 tael atau 23 gram) sebagai pajak. Cukai juga diberlakukan bagi kapal-kapal yang berlabuh di kesultanan ini, tergantung jenis kapal atau jung.

Untuk bahan makanan sama sekali tidak dikenakan bea cukai masuk, kecuali memberi hadiah. Barang-barang yang diimpor dari barat dikenakan enam persen dan bagi setiap budak yang dijual dengan harga lima maz dari emas.

Semua barang dagangan yang diekspor apakah itu lada ataupun barang lainnya, dikenakan biaya satu maz per bahar.

Dampak perdagangan bagi pertumbuhan dan perkembangan kerajaan di pesisir pantai, termasuk Samudra Pasai sangat besar. Pasalnya, perdagangan laut dapat mendorong pertumbuhan negara, kerajaan atau kota di daerah pantai karena penguasa-penguasa lokal akan membangun pelabuhan-pelabuhan mereka untuk melayani kebutuhan masyarakat pedagang internasional.

Selain itu, kerajaan seperti ini juga menjadi gerbang kebudayaan dalam membina hubungan yang aktif dengan daerah luar dan menjadi tempat bertemunya orang-orang. Sehingga tak heran bila Samudra Pasai begitu kosmopolit ketimbang kerajaan-kerajaan pedalaman.

https://edukasi.kompas.com/read/2022/02/10/091900071/siswa-seperti-ini-kerajaan-samudra-pasai-dalam-jalur-pelayaran

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke