KOMPAS.com - Kebijakan pencairan Jaminan Hari Tua (JHT) yang baru bisa dilakukan pada usia 56 tahun memicu beragam respon.
Aturan pencairan JHT ini diteken Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah melalui Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua (JHT).
Menanggapi hal itu, Guru Besar Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga (FISIP Unair), Prof Sutinah menyoroti bahwa aturan tersebut kurang tepat. Terlebih mengingat saat ini masih berada di situasi pandemi.
“Karena di masa pandemi, banyak pekerja yang kehilangan pekerjaan,” ucap Prof Sutinah seperti dilansir dari laman Unair.
Prof Sutinah mengatakan kebijakan itu justru akan menyulitkan pekerja.
“Mengingat sebagian besar pekerja yang kehilangan pekerjaannya itu usianya masih muda, jauh di bawah 56 tahun. Namun mereka belum bisa mendapatkan penghasilan yang terjamin sampai usianya menginjak 56 tahun,” imbuhnya.
Menurutnya, dana Jamsostek dapat bermanfaat sebagai modal untuk membuka usaha sebagai mekanisme untuk bertahan hidup. Ketika tidak lagi bekerja di perusahaan masing-masing, pekerja tetap dapat memenuhi kebutuhan hidupnya melalui usaha mandiri.
“Dana Jamsostek itu diberikan sebanyak satu kali, dalam jumlah tertentu. Bagi para pekerja, mungkin dana tersebut bisa dimanfaatkan sebagai salah satu mekanisme survival, sehingga mereka masih bisa mempertahankan hidup bersama keluarganya sudah tidak menjadi pekerja,” jelas Prof Sutinah.
Menambah kemiskinan
Prof Sutinah mengatakan aturan baru Jamsostek ini membuat pekerja miskin akan semakin miskin, karena apabila ia tidak lagi bekerja di masa pandemi ini maka harus menunggu lama untuk dapat mencairkan Jamsostek.
“Terlalu lama waktu tunggu untuk pencairan Jamsostek ini. Karena mestinya bahwa dana itu bisa dipakai untuk strategi pekerja dalam bertahan hidup. Dalam Sosiologi, hal ini dapat memicu proses pemiskinan,” tutur Prof Sutinah.
Lebih-lebih, lanjut dia, bila selama menunggu tidak ada kegiatan yang menghasilkan.
“Sementara kita lihat bahwa saat ini kebutuhan masyarakat meningkat dan harga di pasaran serba mahal, sehingga pekerja tidak mampu untuk memenuhi kebutuhannya,” lanjut Pakar Sosiologi Industri tersebut.
Meski pemerintah akan mengeluarkan kebijakan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP), namun itu tidak sepenuhnya bisa menjadi solusi.
JKP, terang dia, hanya untuk pekerja yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
“Kalau untuk pekerja yang mengundurkan diri, tidak bisa menerima JKP. Selain itu, pekerja yang mengalami sakit cacat tetap karena kecelakaan kerja, juga tidak bisa mendapat bantuan tersebut,” terang Prof Sutinah.
https://edukasi.kompas.com/read/2022/02/23/180634271/guru-besar-unair-jht-cair-di-usia-56-tahun-picu-proses-pemiskinan