KOMPAS.com - Salah satu mahasiswa berkebutuhan khusus (difabel) UNY bernama Devita Amalia Anggraini lulus dengan nilai IPK 3,50.
Devita kuliah di Prodi Pendidikan Luar Biasa Fakultas Ilmu Pendidikan. Gadis kelahiran Yogyakarta di tahun 1997 ini menyandang tunadaksa.
Dia mengalami ketunadaksaan karena kecelakaan pada usia tumbuh kembang yang menyebabkan adanya kesulitan dalam mobilitas untuk dapat berjalan dengan normal.
"Pada awal usia sekolah dasar (SD) saya masih dapat berjalan tanpa alat bantu, tapi seiring pertambahan usia terdapat perbedaan panjang antara kaki kanan dan kiri. Hal itu menyebabkan penambahan alat bantu kruk diberikan untuk menunjang mobilitas secara mandiri," kata dia melansir laman UNY, Rabu (2/3/2022).
Kondisi disabilitas kaki Devita hanya berada pada kaki kanan, sehingga kaki kiri masih dapat berjalan secara normal.
Penggunaan kruk tersebut pada awal penggunaan mengalami hambatan karena belum terbiasa, tapi setelah menggunakan alat bantu ini selama belasan tahun membuatnya dapat mengontrol penggunaan kruk dengan baik.
Meski dengan alat bantu, dia dapat berjalan tanpa perlu memegang kruk dan dapat mengangkat atau memindahkan barang tanpa hambatan.
"Saya dapat mobilitas secara mandiri dengan adanya motor yang dimodifikasi sehingga dapat menunjang aktivitas saya," sebut dia.
Warga Terban Gondokusuman Yogyakarta itu menempuh semua jenjang pendidikan dari SD hingga SMK diranah pendidikan umum, dengan mempertimbangkan jarak tempuh rumah-sekolah yang setidaknya dapat ditempuh secara mandiri apabila tidak ada yang dapat mengantar jemput.
Menurut dia tidak terdapat masalah pembullyan yang serius selama menempuh ketiga jenjang pendidikan tersebut.
"Permasalahan mungkin hanya disebabkan usia anak-anak yang suka menjahili saya atau mungkin pada masa tersebut disabilitas masih belum tersebarluaskan sehingga teman-teman saya pada waktu itu masih menilai kondisi disabilitas adalah sesuatu yang unik, aneh, tidak biasa dan lainnya," ujar Devita.
Para guru pada waktu itu juga merasa kondisi Devita tidak memerlukan penanganan khusus, selain pelajaran yang memerlukan gerak, seperti tari dan olahraga.
Pada kedua pembelajaran tersebut, Devita biasanya hanya akan menunggu dipinggir lapangan atau hanya menjadi penonton selama pembelajaran berlangsung.
Biasanya penilaian akan dilakukan dengan pembuatan kliping atau laporan.
"Namun karena pembelajaran tersebut kadang hanya sekali seminggu dan terkadang terdapat guru yang tetap melibatkan saya dalam aktivitas gerak, sehingga saya tidak terlalu merasa terasingkan meski tidak mengikuti pembelajaran fisik," tutur dia.
Alumni SMKN 7 Yogyakarta ini diterima di UNY melalui jalur seleksi mandiri ujian tulis satu tahun setelah lulus SMK atau gap year.
Anak pertama pasangan Wartadi seorang buruh catering dan Wiwik seorang ibu rumah tangga tersebut diterima di prodi Pendidikan Luar Biasa FIP UNY.
Wiwik mengatakan, dia mendukung keinginan anak pertamanya untuk kuliah dan tentang biaya akan dicarikan solusi bersama.
Memang sudah menjadi rezeki Devita, selama kuliah dia memperoleh bantuan pendidikan dari suatu lembaga di kawasan tempat tinggalnya.
"Yang membuat saya sangat bersyukur dan semakin percaya jalan keluar selalu ada selama kita yakin pada tindakan yang diambil. Lembaga tersebut selain memberikan saya bantuan finansial juga selalu memberikan bantuan psikologis, seperti memberi semangat dan mendengarkan keluh kesah yang saya alami selama perkuliahan," terang dia.
Bantuan Pendidikan tersebut berhenti pada saat Devita berusia 22 tahun. Atas izin Allah SWT, kemudian dia memperoleh bantuan pada akhir semester tujuh.
Devita memperoleh beasiswa Afirmasi Pendidikan Difabel yang membantunya dalam penyelesaian program studi.
Beasiswa tersebut diperoleh selama 3 semester. Atas beasiswa itu, Devita tidak perlu memikirkan biaya untuk melunasi tagihan UKT golongan 4 sebesar Rp 3,145 juta.
Selama kuliah di UNY tidak alami kendala
Selama masa perkuliahan Devita tidak menemui banyak kendala.
"Perasaan minder yang muncul terkadang adalah karena saya difabel namun saya tidak memiliki pengetahuan atau pengalaman mengenai difabel yang lain yang membuat saya merasa tidak mengetahui apapun tentang kondisi yang saya alami," tegas dia.
Namun berkat kuliah di Pendidikan Luar Biasa inilah, dia mengetahui dan memahami banyak hak-hak yang seharusnya diperoleh siswa yang mungkin pada saat sekolah harusnya memperoleh hak-hak itu.
Di mana pada saat magang atau mengajar, keberadaannya dapat menjadi motivasi siswa atau orangtua yang lain, bahwa kondisi disabilitas itu hanya cangkang.
"Saya memiliki teman-teman yang dengan tulus berteman dengan saya tanpa memandang kondisi yang saya miliki, sehingga meskipun saya disabilitas dan bersekolah di sekolah umum saya dapat memperoleh pendidikan dan dapat bersosialisasi dengan teman teman yang lain tanpa masalah," terangnya.
Dengan segala keterbatasan yang dimiliki, Devita masih mampu meraih IPK 3,50 sampai lulus dari UNY.
Dia berharap, ke depannya dapat segera memperoleh pekerjaan yang sesuai, seperti masuk dapodik, ikut PPG dalam jabatan atau masuk PPPK.
Hal ini merupakan salah satu upaya UNY dalam agenda pembangunan berkelanjutan pada bidang pendidikan bermutu, kesetaraan gender, dan pengentasan kemiskinan.
https://edukasi.kompas.com/read/2022/03/02/112324371/kisah-devita-gadis-difabel-lulus-dari-uny-dengan-ipk-350