KOMPAS.com - Sejak Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di perguruan tinggi diterbitkan, sejumlah kampus terus melakukan sosialisasi.
Sesuai Permendikbud nomor 30, tiap kampus juga wajib memiliki Satgas PPKS untuk menindaklanjuti semua laporan tindakan kekerasan seksual yang terjadi di kampus.
Direktorat Kemahasiswaan Telkom University berkolaborasi dengan Fakultas Ilmu Terapan, Fakultas Teknik Elektro dan Fakultas Komunikasi Bisnis mengadakan webinar Kebangsaan bertema 'Anti Kekerasan Seksual: Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual di Kampus melalui Permendikbud No. 30 Tahun 2021'.
Sosialisasi pencegahan kekerasan seksual di kampus
Wakil Rektor Bidang Admisi, Kemahasiswaan dan Alumni Telkom University Dida Diah Damajanti menjelaskan, melalui webinar kali ini, dapat dilihat regulasi yang pemerintah berikan untuk mengatur pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual di kampus.
"Kekerasan seksual tentu saja bukan suatu hal yang bisa ditoleransi. Artinya ini suatu hal yang serius dan dapat berdampak secara fisik maupun psikis pada korbannya," kata Dida seperti dikutip dari laman Telkom University, Minggu (6/3/2022).
Melalui webinar ini diharapkan dapat menjadi salah satu bentuk sosialisasi untuk pencegahan terjadinya kekerasan seksual di kampus. Serta penanggulangan kasus kekerasaan seksual secara tepat dan meminimalisasi dampaknya terhadap korban.
Turut hadir Advokat JAS Law Office Ahmad Jamaludin sebagai pembicara dalam webinar kali ini. Ahmad Jamaludin menerangkan, kekerasan seksual merupakan perbuatan yang merendahkan, menghina, melecehkan dan menyerang fungsi reproduksi seseorang.
Kehilangan kesempatan ikuti pendidikan tinggi yang aman
Hal ini bisa disebabkan karena ketimpangan relasi kuasa atau gender yang mengakibatkan penderitaan secara psikis maupun fisik.
"Kekerasan seksual ini dapat mengganggu kesehatan reproduksi seseorang sehingga dapat menghilangkan kesempatan melaksanakan pendidikan tinggi dengan aman dan optimal," papar Ahmad.
Menurutnya, hal ini menjadi concern bagi semua sehingga dibuat regulasi yang mengatur mengenai kekerasan seksual.
Ahmad Jamaludin menambahkan, berdasarkan data dari Komnas Perempuan, telah terjadi sekitar 27 persen aduan kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan perguruan tinggi dalam rentang waktu 2015-2020.
Sementara itu, survei yang dilakukan Direktorat Jenderal Kemendikbud Ristek pada 2020 menemukan sekitar 77 persen dosen yang disurvei mengakui telah terjadi tindak kekerasan seksual di kampus.
"Dari data tersebut, sebanyak 63 persen dosen yang disurvei memilih tidak melaporkan kasus yang terjadi alias mendiamkan saja," ungkap Ahmad.
Korban tidak berani melapor karena trauma dan tertekan
Ahmad Jamaludin menambahkan, kebanyakan dari korban kekerasan seksual tidak berani melapor karena memiliki trauma yang berkepanjangan dan merasa tertekan.
Korban akan tertutup karena merasa hal tersebut merupakan suatu aib sehingga tidak ada keberanian untuk melaporkan pada pihak yang berwenang.
Untuk menyelesaikan kasus kekerasan seksual, beberapa hal harus dilakukan kampus yaitu:
1. Memberikan rasa aman dan perlindungan terhadap korban
2. Memberikan pemulihan psikologis
3. Laporkan pelaku pada pihak yang berwenang.
Dari kasus yang telah terjadi, kebanyakan perguruan tinggi justru menghambat proses hukum demi menjaga nama baik kampus dan lebih memilih menyelesaikan masalah dengan jalur damai.
"Justru hal tersebut yang harus dihindari karena akan membuat korban semakin terpojokkan dan memungkinkan akan ada tindak kekerasan seksual yang terjadi selanjutnya," tandas Ahmad.
https://edukasi.kompas.com/read/2022/03/06/131204671/telkom-university-sosialisasikan-permendikbud-ppks