KOMPAS.com - Belum lama ini ada salah satu film dokumenter di platform Netflix yang ramai diperbincangkan masyarakat.
Berjudul "The Tinder Swindler" merupakan sebuah film dokumenter yang menceritakan kisah seorang pria mengaku sebagai Simon Leviev, putra seorang miliarder berlian.
The Tinder Swindler ternyata diangkat dari kisah nyata seorang penipu yang telah menipu banyak wanita di aplikasi kencan online.
Ternyata hal seperti ini bukan kali pertama. Faktanya di Indonesia juga sering kali penipuan dengan modus memalsukan jati diri pelakunya di sosial media kerap terjadi.
Apa itu catfishing
Guru Besar Studi Media Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga (Unair), Prof. Rachmah Ida menjelaskan, catfishing adalah perilaku menyembunyikan identitas asli di sosial media atau kerap disebut deceitful.
Prof. Rachmah menerangkan, perilaku catfishing ini juga termasuk perilaku membohongi dengan memalsukan identitas dan foto di sosial media.
"Catfishing adalah budaya populer dan bukan hal baru, di Indonesia sendiri banyak terjadi di aplikasi kencan seperti Tinder," ujar Prof. Rachmah seperti dikutip dari laman Unair, Selasa (8/3/2022).
Dia menjelaskan, motivasi seseorang yang melakukan catfishing secara disengaja bertujuan untuk mengelabui orang lain atau tidak ingin menunjukkan identitas orientasi seksualnya secara publik.
Menurut dia, pelaku catfishing yang tidak disengaja dikarenakan orang itu belum memahami jati dirinya.
"Orang tidak sengaja melakukan catfish karena kurang percaya diri. Namun pelaku memiliki niat untuk membuka identitas aslinya ketika sudah merasa nyaman dengan pasangannya," tutur Prof Ida.
Korban catfishing paling banyak perempuan
Dia menerangkan, korban catfishing paling banyak terjadi pada perempuan. Hal itu dikarenakan adanya stereotip bahwa perempuan adalah kaum lemah dan mudah dibohongi.
Sehingga pelaku catfishing baik laki-laki atau perempuan lebih banyak menyasar korban perempuan. Prof Ida memaparkan, untuk mengetahui seseorang melakukan catfishing di sosial media, ada beberapa gaya komunikasi dan gestur yang dilancarkan pelaku catfishing.
Seperti, pelaku tidak percaya diri dan tidak konsisten menjelaskan sifat dirinya.
"Jika komunikasi semakin sering, maka pelaku akan cenderung melakukan ghosting atau terus-menerus berbohong untuk menyembunyikan identitas aslinya," urai dia.
Dia menambahkan, seseorang bisa memancing kenalannya atau pihak lain untuk membuka identitasnya melalui beberapa topik pembicaraan. Langkah ini menjadi cara tepat terhindar dari perilaku catfishing.
"Pastikan untuk mencari identitas lawan bicara kita di google atau open sea," jelasnya.
Perlu kewaspadaan agar terhindar dari catfishing
Rahmah menekankan, perlu adanya kewaspadaan dan kehati-hatian jika sewaktu-waktu menjadi korban catfishing dan identitas pribadinya disalahgunakan.
"Agar terhindar dari pencurian identitas, kita harus menjaga akun sosmed. Seperti membuat security akun dan jangan mudah mengumbar hal-hal yang privasi. Karena apa yang kita posting akan beredar di jagad maya dimana semua orang, baik maupun jahat dapat mengetahuinya," beber Dosen Departemen Komunikasi FISIP Unair tersebut.
Pengguna sosial media, lanjutnya, harus memahami cara bermain aplikasi dan mempelajari kasus-kasus viral terkait aplikasi tersebut agar terhindar dari catfishing.
"Hidup ini masih jauh lebih indah daripada menekuni sosmed yang tidak ada rasa kemanusiannya," imbaunya.
https://edukasi.kompas.com/read/2022/03/08/202350771/marak-perilaku-catfishing-pakar-unair-beri-tips-agar-tak-jadi-korban