KOMPAS.com - Air menjadi kebutuhan utama manusia untuk hidup. Namun saat manusia tidak bisa menjaga lingkungannya dengan baik, krisis air menjadi suatu ancaman yang bisa saja terjadi.
Dalam Rancangan Teknokratik Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024 yang dikeluarkan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) atau Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), kelangkaan air di Jawa, Bali dan Nusa Tenggara diperkirakan meningkat.
Kualitas air juga akan terus menurun drastis. Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) telah mengingatkan dampak perubahan iklim terhadap ketersediaan air bersih di Indonesia.
Menurut Guru Besar Teknik Penyehatan Lingkungan Universitas Negeri Surabaya (Unesa) Prof. Erina Rahmadyanti, kelangkaan air tersebut merupakan ancaman serius bagi keberlangsungan hidup manusia. Hal ini perlu jadi perhatian semua kalangan.
Tingkatkan kesadaran dalam memelihara air
Hari Air Sedunia yang diperingati tiap 22 Maret ini harus menjadi momentum untuk memupuk kesadaran bersama dalam memandang, memanfaatkan dan menyikapi ketersediaan air.
Apalagi peringatan Hari Air Sedunia 2022 mengusung tema "Air Tanah, Membuat yang tak Terlihat Menjadi Terlihat" yang secara tidak langsung mengajak untuk melindungi air tanah dari eksploitasi yang semakin berlebihan.
"Ini ancaman serius dan menjadi perhatian dunia," terang Prof. Erina Rahmadyanti seperti dikutip dari laman Unesa, Selasa (22/3/2022).
Dampak krisis air
Prof. Erina Rahmadyanti menerangkan, kelangkaan air mengalami peningkatan seiring terjadinya deforestasi, betonisasi, polusi hingga global warming.
80 juta orang di Indonesia belum memiliki akses air bersih
Akibatnya, sepertiga dari seluruh sekolah di dunia tidak memiliki akses air bersih dan sanitasi yang memadai.
Setengah dari rumah sakit diisi penderita penyakit yang disebarkan air atau sanitasi yang buruk. Dua sepertiga penduduk dunia hidup dengan kondisi air yang tercemar.
Sebanyak 1,8 miliar orang mengalami kelangkaan air. Bahkan, setiap 90 detik terjadi kematian anak yang sebabkan karena diare dan jumlahnya diperkirakan bertambah dari tahun ke tahun dimana sepersepuluh orang tidak memiliki akses air bersih.
"Pada tahun 2015, dari 564 sungai yang menjadi potensi 6 persen air bersih dunia, sekitar 58 persennya tercemar," terangnya.
Sebagaimana data Bappenas, lanjut Prof. Erina, sebanyak 31 persen kematian anak di Indonesia disebabkan karena diare dan waterborne diseases. Sebanyak 80 juta orang di Indonesia belum memiliki akses air bersih.
Solusi atasi krisis
Menurutnya, ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk mengatasi krisis air. Yakni constructed wetland (CW) atau lahan basah buatan sebagai green infrastructure yang dalam implementasinya untuk ketersediaan air bisa dengan strategi pemanenan air hujan dan pengolahan air limbah langsung di tempatnya.
CW merupakan salah satu cara yang murah dan mudah untuk menjaga ketersediaan air di Indonesia secara berkelanjutan.
"Soal ini merupakan riset yang saya tekuni dan disampaikan dalam pidato pengukuhan guru besar Desember 2021," paparnya.
Upaya lain yang bisa dilakukan untuk atasi krisis air yaitu tata kelola yang baik kawasan industrial dan kawasan hijau dan hutan. Ini juga berkaitan dengan regulasi dan penerapannya di lapangan. Kemudian di tingkat bawah juga perlu kesadaran masyarakat dalam memanfaatkan air.
Budaya hemat air, baik skala rumah tangga hingga industrial sebagai bagian dari upaya menyeimbangkan neraca ketersediaan air sangat diperlukan.
"Selamat Hari Air Sedunia 2022, semoga kita bagian dari yang cinta dan sadar lingkungan sehat dan bersih termasuk peduli pada ketersediaan air bersih," tandas Gubes Fakultas Teknik itu.
https://edukasi.kompas.com/read/2022/03/22/163850371/hari-air-sedunia-2022-ini-strategi-atasi-krisis-air-dari-gubes-unesa