KOMPAS.com - Penyakit ginjal, merupakan salah satu penyakit yang banyak diderita. Sekitar 850 juta orang menderita penyakit ginjal di seluruh dunia. Dengan kasus kematian yang disebabkan penyakit ginjal semakin meningkat setiap tahunnya.
Pakar Kedokteran Universitas Airlangga (Unair) Prof Mochammad Thaha memperkirakan bahwa penyakit ginjal diproyeksikan akan menjadi 5 penyebab kematian tertinggi di dunia pada tahun 2040 mendatang.
Setidaknya 10 persen populasi dunia menderita penyakit ginjal kronis, dan diperkirakan 9 dari 10 penderita tersebut tidak menyadari akan bahaya penyakit yang diidapnya.
Dalam hal ini, literasi bahaya penyakit ginjal kronis sangat dibutuhkan untuk masyarakat.
“Kesehatan ginjal tentunya berlaku untuk siapa saja dan berlaku di mana saja, mulai pencegahan sampai deteksi dini serta pemerataan akses pelayanan,” ujar Dosen FK tersebut dilansir dari laman Unair.
Penyakit ginjal umumnya tidak bergejala sehingga tidak mudah untuk memahami penyakit ini.
Akibatnya banyak orang yang tidak mengetahui kapan harus bertindak dan mencari pertolongan medis, mengingat tanda dari datangnya penyakit tidak dapat dilihat dan diraba.
“Dalam hal ini, kesadaran untuk bertindak akan meningkat melalui literasi kesehatan,” imbuhnya.
Ia menjelaskan, terdapat tiga faktor risiko utama terkait penyakit ginjal kronis khususnya di Indonesia, yaitu hipertensi, obesitas, dan diabetes. Ketiganya sangat mempengaruhi terancamnya kesehatan ginjal.
1. Hipertensi
Prof Thaha menyebutkan bahwa hipertensi memiliki nilai rerata prevalensi sebesar 34,1 persen pada 34 provinsi, dengan nilai prevalensi per-provinsi terendah sebesar 22,2 persen dan prevalensi tertinggi sebesar 44,1 persen.
2. Obesitas
Sedangkan obesitas memiliki nilai rerata prevalensi sebesar 21,8 persen pada 34 provinsi, dengan nilai prevalensi per-provinsi terendah sebesar 10,3 persen dan prevalensi tertinggi sebesar 30,2 persen.
3. Diabetes
Memiliki Prevalensi Diabetes Melitus sebesar 8,5 persen. “Sedangkan nilai rerata prevelensi penyakit ginjal kronis sebesar 3,8 permil pada 34 Provinsi, dengan nilai prevalensi per-provinsi terendah sebesar 1,8 permil dan tertinggi sebesar 6,4 permil” ungkapnya.
Hal tersebut membuktikan bahwa penyakit ginjal menjadi ancaman masyarakat akan kesehatan yang kurang terpelihara. Belum lagi, edukasi yang minim terhadap pola kesehatan guna mendukung ginjal yang sehat.
Oleh karenanya, program literasi kesehatan bagi seluruh kalangan perlu digiatkan secara berkesinambungan.
Ia memberikan contoh mengenai teknik komunikasi dan kolaborasi yang dapat mendukung perkembangan ide dan solusi dalam tatalaksana pelayanan ginjal. “Ambil contoh seperti di Instalasi Dialisis RS Universitas Airlangga,” sebutnya.
Tim RS Unair, selain menjalin komunikasi yang baik dengan seluruh pasien dan keluarga, juga mendukung perkembangan penanganan ginjal kronis.
Seperti tenaga elektromedis teknik HD diberangkatkan ke Jepang untuk belajar tentang teknologi dialisis, lalu dalam waktu dekat RS Unair siap menjadi yang pertama di Jawa Timur dengan membuka pelatihan khusus bagi teknisi dialisis yang terstandarisasi Internasional.
Banyak hal yang harus dilakukan untuk menjembatani kesenjangan pemahaman akan permasalahan yang ada dan beban komunitas yang timbul akibat penyakit ginjal kronik.
Tanpa komunikasi yang baik, banyak ide dan solusi tidak akan berhasil diterapkan pada komunitas dan negara yang sebenarnya sangat membutuhkan.
“Tentu dalam pelaksanaannya, ikhtiar tetap kita laksanakan, dan selebihnya tawakal kepada Yang Maha Kuasa,” pungkasnya mengakhiri.
https://edukasi.kompas.com/read/2022/03/29/081453071/dosen-unair-3-faktor-penyebab-penyakit-ginjal-kronis-di-indonesia