KOMPAS.com - Penyakit Covid-19 dan TBC (paru-paru basah) memiliki cara penularan, gejala, dan penanggulangan yang mirip.
Padahal keduanya berbeda, dari sumber penyakit hingga cara menanggulanginya.
Pakar Universitas Airlangga (Unair), Dr. Soedarsono menyebut, meski keduanya berbeda namun daya tularnya sama cepatnya.
"(Covid-19 dan TBC) sama-sama punya daya tular yang cukup tinggi," ujar Soedarsono dilansir dari laman Unair.
Menurut dia, baik pasien TBC maupun Covid-19, angka pasien tertingginya berada pada usia produktif.
"Covid-19 itu penyakit yang sifatnya akut, sedangkan TBC itu sifatnya kronis," jelas Soedarsono.
Hal ini dikarenakan jika melihat angka mortalitas, kematian akibat TBC lebih besar persentasenya.
"Kematian TBC itu sebesar 10,8 persen. Sedangkan Covid-19 hanya 2,6 persen," ungkap dia.
Soedarsono menambahkan, persentase kematian TBC tersebut adalah TBC yang tidak kebal obat.
Sedangkan TBC yang kebal obat memiliki persentase kematian 18 persen.
Oleh karena itu, baik TBC maupun Covid-19 sama-sama perlu diwaspadai.
Apa itu TBC kebal obat?
Soedarsono mengatakan, TBC kebal obat adalah ketika virus Mycobacterium tuberculosis yang menjadi penyebab penyakit TBC tidak mati meskipun terkena obat.
Ada dua macam penyebab TBC kebal obat terjadi, yakni faktor primer dan faktor sekunder.
Faktor primer, yaitu ketika seseorang tertular dari pengidap TBC kebal obat.
Sedangkan faktor sekunder adalah pengidap TBC yang putus obat ataupun meminum obat secara tidak teratur yang berdampak pada mutasi virus.
Dampak Covid-19 pada penanggulangan TBC
Soedarsono mengungkapkan, adanya Covid-19 ternyata berdampak negatif pada penanggulangan TBC di Indonesia.
Menurut dia, banyak seseorang yang merasakan gejala TBC tetapi takut pergi ke fasilitas kesehatan, karena takut dinyatakan mengidap Covid-19.
Mengingat, gejala kedua penyakit ini mirip dan memiliki sanksi sosial yang tinggi.
Sehingga kebanyakan, pengidap Covid-19 memilih mengobati sendiri di rumah.
Selain itu, banyak pengidap TBC yang takut kontrol, karena takut tertular Covid-19 sehingga putus berobat.
Adanya kejadian itu membuat temuan TBC di Indonesia dinyatakan berkurang.
Faktanya, sebenarnya masih banyak pengidap TBC.
Padahal, pengidap TBC harus mendapatkan pengobatan yang teratur, agar tidak memperparah kondisi dan menularkan kepada khalayak yang lebih luas.
Meski memberikan dampak negatif, nampaknya Covid-19 juga memberikan dampak positif bagi sektor penanggulangan TBC.
Soedarsono menjelaskan, strategi penanggulangan Covid-19 berupa protokol kesehatan bisa juga diaplikasikan pada strategi penanggulangan TBC.
Selain itu, dia mengatakan, meskipun secara teori orang mengidap TBC memiliki kepekaan terpapar Covid-19, faktanya di Surabaya tidak banyak orang mengidap TBC yang terpapar Covid-19.
Hal ini dimungkinkan karena pengidap TBC sudah terbiasa dengan protokol kesehatan, bahkan sebelum Covid-19.
Tetap waspada TBC pada anak
Dia menegaskan, anak-anak itu biasanya rentan terkena TBC. Namun potensi penularannya sedikit
Hal ini dikarenakan, anak-anak pengidap TBC memiliki jumlah virus yang lebih sedikit dibandingkan dengan orang dewasa, sehingga kemampuan menularkan kepada orang lain lebih kecil.
Bebas TBC di 2030
Untuk itu, perlu upaya ekstra agar angka pengidap TBC semakin turun.
Indonesia saat ini menjadi negara endemik TBC yang menduduki peringkat ketiga di dunia.
Pemerintah Indonesia menargetkan TBC di Indonesia tereliminasi pada 2030.
Soedarsono menilai, hal tersebut realistis terjadi dengan syarat masyarakat harus mewaspadai TBC.
Seperti mewaspadai Covid-19 dan penanggulangan TBC harus melibatkan seluruh sektor, layaknya penanggulangan Covid-19.
"Saya optimis (2030 bebas TBC), asal itu tadi (syarat terpenuhi, Red)," pungkas dia.
https://edukasi.kompas.com/read/2022/03/30/130749471/lebih-bahaya-mana-tbc-atau-covid-19-ini-kata-pakar-unair