KOMPAS.com - Ade Armando mengalami kasus pengeroyokan saat aksi demonstrasi yang dilakukan mahasiswa di depan Gedung DPR/MPR RI di Jakarta.
Padahal, pria yang merupakan pegiat sosial media (sosmed) dan salah satu dosen UI itu turut ikut menyuarakan demo yang disampaikan para mahasiswa di bawah naungan BEM SI.
Adanya kasus pengeroyokan yang menimpa Ade Armando, membuat Ketua Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya (UB), Rachmat Kriyantono angkat suara.
Rachmat menyesalkan kejadian pengeroyokan tersebut.
"Apapun alasannya, tindakan pemukulan, pengeroyokan hingga melakukan tindakan menelanjangi Ade Armando adalah perilaku di luar batas manusiawi. Tidak pantas dilakukan siapa pun. Apalagi kejadian dilakukan di bulan suci Ramadan ini," ucapnya dilansir dari rilis FISIP UB.
Dia menyatakan, demonstrasi telah dilindungi sebagai hak kebebasan berpendapat sebagai ruh demokrasi.
Namun cara menyampaikan pendapat dan apa saja isu yang bisa disampaikan juga ada aturannya.
"Demokrasi itu bukan hanya kebebasan individu tetapi juga tentang menghormati hak orang lain," tegasnya.
Ade Armando, kata Rachmat, sebenarnya konsisten menentang wacana tiga periode presiden dan pemilu ditunda.
Artinya, dia satu pihak dengan demonstran.
"Berarti, ini merupakan cermin komunikasi politik kebencian," sesal Pakar UB ini.
Komunikasi politik kebencian ini menurut Rachmat sudah muncul sejak pilpres 2014, dan terus memuncak saat pilkada DKI pada 2017 dan pilpres 2019.
"Anak bangsa saling serang bukan pada gagasan, tetapi pada aspek SARA yang cenderung negatif dlm suatu kampanye politik identitas yang negative," tuturnya.
Alumni S3 University of Western Australia ini menilai jika motif pengeroyokan itu karena pemikiran Ade di channel YouTube miliknya cenderung berbeda pendapat dengan oposisi, mestinya perbedaan itu esensi demokrasi yang harus saling dihormati.
"Perbedaan itu mestinya dilawan dengan menyampaikan konter informasi. Ada prinsip demokrasi yang penting, yakni lawanlah informasi dengan informasi, tentu Data based information bukan hoaks," tegasnya.
Demo merupakan pilihan terakhir jika tidak ada respons pemerintah
Setelah kejadian pengeroyokan tersebut, dia berharap mahasiswa menyampaikan aspirasi dengan ilmu.
Demonstrasi merupakan hak, tetapi, dalam era demokrasi modern ini, akan lebih baik jika menjadikan demonstrasi sebagai alternatif terakhir.
"Menurut saya mahasiswa lebih baik menggelar semacam simposium antar mahasiswa. Para pimpinan BEM bisa berkumpul untuk mengevaluasi situasi bangsa. Outputnya bisa berupa pernyataan sikap yang bisa disebarkan ke media massa, DPR maupun pemerintah," ungkap dia.
Dia mengatakan, demonstrasi bisa menjadi pilihan akhir saat respons pemerintah belum maksimal.
"Apakah ini sudah dilakukan? Jika sudah dilakukan, apakah tidak ada respon dari pemerintah atau DPR? Jika tidak ada maka bisa disebut muncul ketersumbatan channel komunikasi politik. Jika tersumbat maka demonstrasi menjadi pilihan akhir," sambung Rachmat.
Dia mengingatkan dalam perspektif komunikasi massa bahwa kerumunan dikenal konsep Contagion Mentale.
"Dalam kerumunan, individu mudah kehilangan kesadaran personalnya dan mudah mengikuti perilaku massa. Di sinilah peran seorang provokator. Jadi mahasiswa saat melakukan demonstrasi harus waspada terhadap provokator karena sangat rentan disusupi," pungkas Rachmat.
https://edukasi.kompas.com/read/2022/04/13/094115971/kasus-pengeroyokan-ade-armando-begini-kata-pakar-ub