Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Pemerkosa Belasan Santriwati Dihukum Mati, Ini Tanggapan Dosen UMM

KOMPAS.com - Beberapa waktu lalu, masyarakat Indonesia dihebohkan dengan berita pemerkosaan belasan santriwati di Bandung, Jawa Barat.

Peristiwa tersebut dikecam seluruh masyarakat Indonesia dan menjadi sebuah peristiwa kelam di dunia pendidikan. 

Proses hukum sudah berlangsung dan terdakwa pemerkosa belasan santriwati, HW divonis hukuman mati oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Barat (Kejati Jabar).

Hukuman mati bagi terdakwa pemerkosa belasan santriwati ini juga menjadi perbincangan hangat netizen. Banyak pula netizen yang mendukung putusan hakim terhadap HW.

Terdakwa sudah melakukan kejahatan serius

Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Ratri Novita Erdianti menanggapi kasus tersebut dari aspek hukum.

Ratri menjelaskan bahwa peraturan akan kasus tersebut sudah tertera di Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2016 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

Menurutnya, di dalam UU terkait, telah diatur pemberian hukuman mati bagi pelaku kekerasan seksual.

Dia menerangkan, apa yang dilakukan terdakwa HW adalah kejahatan serius yang melebihi batas manusia.

Namun di sisi lain hukuman mati tentu bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Namun, keputusan dari pengadilan masih tergantung pada aspek jumlah korban, dampak yang dirasakan.

Jadi hukuman mati pertama untuk kasus kekerasan seksual

Dari tiga aspek tersebut, akan muncul pertimbangan yang menentukan berat atau ringannya hukuman terhadap terdakwa.

"Kejahatan yang dilakukan terdakwa menurut saya telah melewati batas kemanusiaan," ungkap Ratri seperti dikutip dari laman UMM, Minggu (17/4/2022).

Dia menerangkan, sebuah kejahatan yang serius harus diberi hukuman yang serius pula agar memberikan efek jera. Tidak hanya bagi pelaku kejahatan tapi juga bagi masyarakat luas.

Dosen asal Pasuruan ini mengungkapkan, vonis hukuman mati untuk kasus pemerkosaan santriwati adalah yang pertama dalam sejarah Indonesia bagi pelaku kekerasan seksual.

Dia menekankan, saat hakim memutuskan sebuah kasus pidana, ada banyak hal yang harus diperhatikan. Terutama yang menyangkut aspek korban, harus dilihat secara psikologis. Termasuk dengan masa depan yang akan dihadapi belasan korban.

"Ketika nanti ada kasus yang serupa, disparitas bisa saja terjadi. Maksudnya adalah hukuman yang diputuskan nantinya tidak akan selalu sama dengan kasus pemerkosaan belasan santriwati tersebut," beber Ratri.

Hal itu bisa saja terjadi karena kondisi dan situasi kasus yang mungkin berbeda pula.

"Begitupun jika mengajukan upaya banding yang tidak selalu menghasilkan hukuman yang ringan, tapi bisa juga menjadi lebih berat," tandas Ratri.

Jadi pembelajaran dan edukasi bagi masyarakat

Ketika mengajukan banding, lanjut Ratri, bukan berarti hukuman pelaku pasti diringankan. Bahkan bisa jadi sebaliknya yakni diberikan hukuman yang lebih berat.

Ratri menambahkan, peristiwa kelam dan hukuman mati bagi pemerkosa belasan santri ini, menjadi pembelajaran dan edukasi bahwa kejahatan yang dilakukan merupakan kejahatan serius.

Selain itu, peristiwa ini nyatanya juga berefek pada penurunan kepercayaan masyarakat kepada instansi pendidikan. Khususnya pendidikan yang berlangsung di pondok pesantren.

Tentu perlu adanya pencegahan agar hal yang sama tidak terjadi. Baik di lingkungan pondok pesantren, sekolah, dan tempat umum.

Negara juga harus mengambil peran signifikan untuk menjamin keamanan bagi seluruh masyarakatnya.

"Upaya monitoring yang harus dilakukan oleh orangtua, guru, dinas pendidikan hingga kementerian agama," pungkas Ratri.

https://edukasi.kompas.com/read/2022/04/17/200708771/pemerkosa-belasan-santriwati-dihukum-mati-ini-tanggapan-dosen-umm

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke