KOMPAS.com - Di bulan April ini, intensitas hujan di berbagai wilayah Indonesia masih cukup tinggi.
Intensitas curah hujan ekstrem terjadi dalam beberapa dekade terakhir seiring peningkatan suhu akibat pemanasan global.
Curah hujan tinggi ini juga membawa dampak lain seperti risiko terjadi bencana di daerah-daerah tertentu.
Peneliti sekaligus pengamat iklim dan lingkungan Universitas Gadjah Mada (UGM) Emilya Nurjani mengatakan setahun terakhir, Indonesia memang mengalami La Nina sehingga curah hujan di wilayah sebagian Indonesia cenderung lebih basah sepanjang tahun 2021.
Selain itu, awal tahun 2022 Indonesia juga mengalami monsoon Asia dan ITCZ yang meningkatkan curah hujan.
"Beberapa waktu lalu ada siklon di perairan Australia yang juga berpengaruh terhadap curah hujan di wilayah Indonesia bagian selatan," kata Emilya seperti dikutip dari laman UGM, Jumat (22/4/2022).
Kondisi tersebut apakah masih dalam kategori normal, menurut Emilya, untuk mengukurnya perlu melakukan upaya dengan membandingkan data curah hujan bulanan tahun 1980-2010 sebagai tahun baku iklim menurut WMO.
Berdasarkan pembandingan tersebut di sebagian wilayah Jawa memang sebenarnya telah mengalami pertambahan sebesar 40-120 mm dalam 20 tahun.
Faktor yang memengaruhi curah hujan
Bahkan untuk pulau Jawa dengan mempergunakan analisis persentil memperlihatkan banyaknya wilayah mengalami peningkatan curah hujan harian. Metode ini tentunya berbeda dengan penentuan hujan ekstrem BMKG (fixed threshold).
"Hasil analisis memperlihatkan bahwa perkotaan di pulau Jawa mengalami lebih banyak frekuensi hujan ekstrem dibandingkan daerah pedesaan," katanya.
Ia menjelaskan curah hujan di suatu wilayah secara geografis dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain:
Ada juga faktor regional seperti:
Faktor regional ini sering menimbulkan hujan tinggi/lebat bahkan hujan ekstrem di Indonesia. Beberapa kejadian hujan ekstrem di Indonesia berhubungan dengan siklon tropis (Dahlia, Cempaka, Seroja) meningkatkan hujan hingga 340 mm/hari (curah hujan sebesar ini biasanya turun dalam 1 bulan).
Dampak curah hujan ekstrem
Fenomena regional yang berpengaruh terhadap hujan ini mempunyai periode ulang yang semakin sering. Hal ini diperlihatkan dengan durasi waktu yang lebih pendek dibanding 20 tahun yang lalu.
"Seperti ENSO, dulu periode kejadian sekitar 5, 7, 9 tahunan, sekarang lebih singkat 3,5 tahunan. Hal ini ditengarai perubahan iklim yang disebabkan pemanasan global," jelasnya.
Emilya mengungkapkan, secara lokal suhu udara yang tinggi akan menyebabkan peningkatan evaporasi/evapotranspirasi dan lingkungan atmosfer yang sesuai akan meningkatkan pembentukan awan-awan vertikal yang berpotensi menghasilkan hujan cukup tinggi dalam waktu singkat.
Curah hujan ekstrem yang berlangsung lama biasanya akan menimbulkan genangan kemudian banjir di daerah dataran rendah atau cekungan, dan di daerah sekitar perbukitan atau pergunungan berpotensi menimbulkan longsor.
Sementara di daerah perbukitan atau pegunungan yang rusak terkadang dapat menimbulkan banjir bandang. Dampak yang ditimbulkan tentu merugikan masyarakat baik harta benda bahkan jiwa serta menimbulkan gangguan kesehatan.
Masyarakat perlu edukasi tentang perubahan pola hujan
Dia menekankan, masyarakat perlu diedukasi tentang pola hujan yang mulai mengalami perubahan. Karena perubahan ini tidak hanya dirasakan masyarakat tertentu tetapi juga semua masyarakat.
Misal di bidang pertanian dapat menimbulkan kerusakan padi sehingga tidak jadi panen. Petani kopi yang akan turun hasil produksinya atau petani tembakau jika hujan ekstrem terjadi di musim kemarau.
Daerah perkotaan mempunyai frekuensi kejadian hujan ekstrem lebih sering karena suhu udara yang lebih tinggi di kota menyebabkan potensi pembentukan hujan konvektif dengan awan-awan konvektif yang mengandung uap air yang banyak (Cumulonimbus).
Kondisi seperti ini tentu tidak hanya dialami di Indonesia, tetapi hampir di semua belahan dunia mengalami fenomena yang sama.
Dia menambahkan, perubahan iklim akan memengaruhi banyak sektor kehidupan masyarakat, baik langsung maupun tidak langsung. Karenanya perlu melakukan mitigasi dan adaptasi.
https://edukasi.kompas.com/read/2022/04/23/075700671/peneliti-ugm-ungkap-faktor-penyebab-tingginya-curah-hujan