KOMPAS.com - Pandemi COVID-19 yang melanda selama lebih dari dua tahun terakhir telah menambah tantangan tersendiri bagi perempuan. Pasalnya, perempuan kian didorong untuk berperan memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga, di samping menjalani peran domestik keluarga.
Peran perempuan dalam mencari nafkah masih dianggap sekadar pelengkap atau pendukung laki-laki yang masih dinilai sebagai pencari nafkah utama.
Survei yang dilakukan Yayasan Plan International Indonesia (Plan Indonesia) dalam proyek Raise the Bar tahun 2022 melaporkan, mayoritas responden (62 persen) tidak setuju jika peran dan tanggung jawab mencari nafkah hanya dibebankan pada laki-laki.
Sebaliknya, mereka setuju jika peran mencari pendapatan dan pengasuhan dibagi secara setara. Meskipun demikian, tidak berarti bahwa masyarakat sepenuhnya menerima pembagian peran yang setara tersebut.
Faktanya, masih banyak orang pendapatan keluarga sebagai tanggung jawab laki-laki dan pengasuhan adalah peran perempuan. Hal ini tercermin dari hasil survei, lebih dari 80 persen responden yang mayoritas perempuan melihat bahwa orang-orang di sekitar mereka masih menganggap laki-laki sebagai pemberi nafkah utama.
Jika pun mereka memutuskan untuk membagi peran yang setara, 82 persen responden mengakui akan adanya kritik dari pihak luar. Menurut responden perempuan, potensi kritik akan datang dari mertua, ibu dan tetangga. Sedangkan responden laki-laki mengkhawatirkan kritik dari tetangga dan teman.
Meski bertentangan dengan persepsi masyarakat, survei ini menunjukkan secara praktik keluarga, mayoritas responden setuju bahwa mencari pendapatan dan pengasuhan adalah peran perempuan dan laki-laki.
Kesetaraan peran pencari nafkah utama antara laki-laki dan perempuan tentunya bukan tanpa rintangan. Perempuan pekerja kerap kali dalam posisi rentan karena masih sering dipandang sebagai bukan pencari nafkah utama. Hal ini tentunya berimbas pada meningkatnya risiko pemutusan hubungan kerja (PHK) di masa ekonomi sulit.
Di sisi lain, perempuan yang bekerja tetap diharapkan melakukan tugas-tugas domestik. Di masa pandemi saat hampir semua kegiatan terpusat di rumah, tuntutan ini memberikan tantangan lebih berat bagi perempuan pekerja daripada laki-laki pekerja.
Meski mengalami banyak rintangan, peran perempuan dalam ekonomi keluarga yang makin meningkat selama pandemi COVID-19 ini juga memiliki sisi positif, yakni sebagai momentum untuk mendobrak norma gender yang selama ini berkembang. Peran perempuan sebagai pencari nafkah di masa pandemi dapat dimanfaatkan untuk membangun kesadaran tentang kapasitas dan kesempatan yang setara bagi perempuan.
Demikian pandangan yang berkembang dalam acara dialog interaktif Smart Talks bertajuk “Peringatan Hari Kartini: Merayakan Emansipasi Pemberdayaan Ekonomi Perempuan Dalam Situasi Pandemik COVID-19”, hasil kolaborasi Jurnal Perempuan bersama Plan Indonesia, Selasa (26/4/2022).
Tak hanya memperingati Hari Kartini yang jatuh pada tanggal 21 April lalu, diskusi tersebut sekaligus refleksi terhadap kondisi perempuan setelah dua tahun pandemi COVID-19 melanda.
Acara ini dibuka oleh Dini Widiastuti (Direktur Eksekutif Plan Indonesia) serta menghadirkan sejumlah pembicara, antara lain, Ikhaputri Widiantini (Dosen Filsafat di Universitas Indonesia), Leya Cattleya (Pendiri EMPU), dan Romlawati (Co-Director PEKKA). Webinar ini merayakan emansipasi ekonomi perempuan di tengah pandemi Covid-19.
Dini mengatakan, adanya beban ganda dan guncangan pandemi yang dirasakan para pekerja perempuan, justru memberikan kontribusi besar terhadap pemberdayaan ekonomi.
“Hal ini membuktikan bahwa perempuan memiliki kemampuan bertahan dari krisis yang luar biasa untuk diri dan keluarganya. Hal ini harus diapresiasi dan mendapatkan dukungan dari masyarakat, sehingga perempuan dapat terus termotivasi untuk berdaya secara ekonomi tanpa terpaku dengan batasan peran gender,” kata Dini dalam siaran pers.
Di sisi lain, dalam sejumlah riset tingkat global dan nasional, perempuan cenderung menerima uang lebih sedikit, pengeluaran keluarga meningkat karena keperluan kesehatan. Perempuan di Indonesia yang mayoritas terlibat di kerja-kerja informal mendapat kerentanan yang semakin parah.
Menurut Abby Gina Boang Manalu, Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan, hal ini makin menegaskan bahwa dampak dari krisis tidak pernah netral gender, begitu juga dalam kasus pandemi COVID-19. Krisis ekonomi berdampak lebih parah kepada kelompok perempuan.
“Mereka rentan mengalami pemutusan kerja karena gendernya yang dianggap bukan pencari nafkah utama, dan karena dianggap tidak bekerja maksimal selama pandemi karena harus mengurus rumah tangga. Namun di balik kerentanan ini, perempuan juga menunjukkan resiliensi dengan membangun ekonomi-ekonomi kreatif,” ungkap Abby.
Hal ini ditegaskan pula oleh Leya Cattleya, Pendiri EMPU. Seperti yang diketahui, pandemi COVID-19 sangat berdampak pada seluruh sektor ekonomi. Sumber daya alam, produksi, pasar, dan daya beli, khususnya untuk industri kreatif menurun, tidak berkelanjutan.
PPKM yang dilakukan untuk mencegah penyebaran COVID-19 hingga membuat banyak usaha tutup. Ketika pengusaha harus menutup usahanya, perempuan tak jarang jadi kelompok pertama yang di-PHK.
“Untuk itu, diperlukan dukungan berkelanjutan pada kerja kreatif dan inovatif serta kapasitas UMKM dan artisan agar lebih resilien, penggalakan kemitraan dan solidaritas, serta advokasi kepada pemerintah,” ujar Leya.
Sementara itu, Ikhaputri Widiantini, Dosen Filsafat Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, menyatakan kepemimpinan dan keterlibatan perempuan akan mengubah pola pikir dan perilaku secara transformatif.
“Kita perlu lebih peka mendengarkan pengalaman perempuan dalam upaya mencapai situasi masyarakat yang setara dan tanpa kekerasan berbasis gender,” jelas Ikhaputri.
Romlawati, Co-Director PEKKA, mengatakan bahwa perempuan menjadi penggerak ekonomi di akar rumput dan menjadi penopang ekonomi keluarga di tengah pandemi.
“Namun, terdapat beberapa tantangan, salah satunya adalah terbatasnya akses pendidikan, internet, dan pelatihan terhadap perempuan-perempuan di akar rumput. Maka dari itu, untuk menyukseskan pemberdayaan perempuan, dibutuhkan kerja sama dan dukungan dari pemerintah, organisasi masyarakat sipil, serta masyarakat luas,” jelas Romlawati.
https://edukasi.kompas.com/read/2022/04/28/190000771/refleksi-dua-tahun-pandemi-peran-perempuan-penyangga-ekonomi-keluarga