Secara konseptual, Merdeka Belajar adalah suatu gerakan untuk membebaskan lembaga pendidikan dan mendorong anak berinovasi dan mengembangkan pemikiran kreatif.
Konsep Merdeka Belajar, pertama-tama dimaksudkan untuk membebaskan lembaga pendidikan model pembelajaran yang terkungkung oleh epistemologi tabula rasa (Latin: papan kosong) bahwa seorang manusia lahir tanpa isi mental bawaan (kosong), dan seluruh sumber pengetahuan diperoleh sedikit demi sedikit melalui pengajaran guru, buku teks, dan pengalaman hidup.
Dengan kata lain, Merdeka Belajar bermaksud membantu peserta didik menjadi pribadi yang kreatif dan inovatif, selalu berpikir kritis dan out of the box sehingga bisa beradaptasi dengan lingkungan sosial yang dinamis.
Kedua, Merdeka Belajar dimaksudkan untuk mendorong pengembangan karakter (character building) di mana para siswa belajar berkolaborasi dengan orang lain, menghormati perbedaan, bersikap adil, dan mengendalikan emosi negatif.
Di bawah sistem Merdeka Belajar ada program Sekolah Penggerak (Sekolah Pemrakarsa) dan Guru Penggerak untuk mendorong kolaborasi sekolah dan guru guna mempromosikan praktik pembelajaran yang progresif, kreatif, dan menyenangkan sesuai dengan bakat dan minat siswa.
Diragukan akan berhasil
Secara ideal, konsep Merdeka Belajar sangat indah dan sangat dibutuhkan oleh dunia pendidikan kita yang sudah lama terkungkung oleh model pembelajaran yang ‘tak merdeka’.
Namun, baik pendukung maupun kritikus meragukan bagaimana pendekatan Merdeka Belajar bisa berjalan efektif di tengah maraknya pembelajaran online akibat Covid-19, apalagi di era digitalisasi di berbagai sektor kehidupan, termasuk di sektor pendidikan.
Masalah utama pendidikan yang terjadi selama pandemi, adalah banyak guru hanya memindahkan metode pengajaran tatap muka tradisional ke metode pembelajaran secara online.
Pada titik tertentu, hal ini dapat dimaklumi. Sebab banyak, bahkan sebagian besar guru, belum dilatih untuk mengelola pembelajaran secara online. Dengan ketrampilan digital seadanya, para guru mencoba mendapatkan perhatian para siswa dari waktu ke waktu dan mengajak mereka untuk belajar melalui aplikasi Zoom atau Google Classroom dan terkadang hanya dengan aplikasi perpesanan.
Selebihnya, mereka tak tahu bahkan tak peduli apakah para siswa di rumah benar-benar belajar, atau tidak belajar apa-apa.
Hal ini tentu saja menjadi masalah serius. Sebab Merdeka Belajar dalam platform online mengandaikan para siswa memiliki kemauan dan kebiasaan untuk belajar secara mandiri.
Sebuah pepatah Inggris dari abad ke-12 menyebutkan, "A man may well bring a horse to the water, but he can not make it drinks without its will". (Seseorang bisa saja membawa kuda ke air, tetapi dia tidak bisa membuatnya minum jika kuda itu tak punya hasrat untuk minum.)
Sama hal dengan program Merdeka Belajar. Kemendikbud, sekolah atau para guru bisa saja menyediakan program Meredeka Belajar, tetapi mereka tak bisa membuat para siswa melakukannya jika para siswa tak punya motivasi dan kesadaran sendiri.
Apakah masalah seperti ini akan selesai dengan sendirinya ketika sekolah tatap muka kembali diterapkan? Tak ada jaminan sama sekali!
Program Sekolah dan Guru Penggerak sepertinya ingin mengisi atau mengatasi masalah ini. Tetapi, melihat model sosialisasi Sekolah/Guru Penggerak yang berlangsung belakangan ini, siapa pun tentu pesimistis. Sebab, semuanya dilakukan serba instan.
Apalagi semua kita paham bahwa model pembelajaran yang kreatif, inovatif dan menyenangkan, serta kebiasaan siswa untuk belajar secara mandiri itu tidak bisa terbentuk dalam waktu sekejap, semudah dan secepat membalikkan telapak tangan.
Dalam konteks itu, pandemi Covid-19 memang membawa berkah karena mendesak kita untuk mendayagunakan kemajuan teknologi digital di dunia pendidikan, supaya generasi muda siap memasuki dunia yang semakin digital.
Pihak sekolah dan para guru pun menyadari bahwa teknologi dan kekuatan perangkat dan aplikasi digital dapat meningkatkan keterlibatan, mendorong kolaborasi, memicu inovasi, dan meningkatkan pembelajaran siswa. Bahkan, dengan koneksi internet, para siswa memiliki akses ke informasi di ujung jarinya selama 24 jam sehari. Mereka dapat menemukan hampir semua hal secara online, dalam versi terbarunya.
Namun, pada sisi lain, berbagai studi justru membuktikan bahwa penerapan teknologi digital di dunia pendidikan menimbulkan mudarat bagi freedom of learning.
Amanda Strom (2021) menyatakan bahwa pesatnya perkembangan teknologi digital dan penerapannya yang masif di dunia pendidikan menimbulkan tantangan berat, baik bagi pendidik maupun para siswa dalam konteks freedom of learning.
Tanpa pelatihan dan dukungan yang tepat, para pendidik tidak dapat mendayagunakan perangkat dan aplikasi teknologi digital dalam pelajaran mereka. Pada sisi lain, teknologi digital yang digunakan setiap hari dalam sistem sekolah akan meningkatkan jumlah waktu siswa berinteraksi dengan layar digital.
Tinjauan literatur menemukan bahwa siswa yang terpapar dengan layar digital dalam waktu lama memiliki risiko lebih tinggi mengalami efek kesehatan yang merugikan.
Mereka juga akan mengalami defisit belajar yang besar. Pada tahap tertentu, konsentrasi dan motivasi belajar mereka akan sangat terganggu, sehingga alih-alih mendukung freedom of learning, sebaliknya mereka menjadi tidak termotivasi sama sekali untuk belajar, dan cenderung menjadikan perangkat digital sekadar media hiburan dan game.
Belajar dari negara lain
Sejatinya, gerakan Merdeka Belajar yang dicanangkan oleh Kemendikbud(ristek) bukanlah yang pertama di dunia. Sejumlah negara lain sudah lama mempraktikkannya.
Norwegia, misalnya, menerapkan kebijakan serupa sejak tahun 1994. Norwegia meluncurkan Reform94 yang intinya memberikan keleluasaan kepada para siswa untuk mengendalikan pembelajaran mereka. Kebijakan tersebut berfokus pada pemberian lebih banyak pilihan dan tanggung jawab kepada siswa untuk bekerja sama dengan guru dalam merancang kegiatan belajar mereka.
Namun, evaluasi nasional menemukan bahwa hanya siswa yang memiliki motivasi diri yang kuat dapat belajar secara mandiri dengan sukses. Sebagian besar siswa lainnya, terutama kaum Wanita justru gagal dalam belajar. Akibatnya, niat baik kebijakan tersebut berujung kegagalan secara nasional (Marianne Bertrand, dkk., 2019).
Hal yang berbeda terjadi di Selandia baru. Praktik Merdeka Belajar juga telah lama diterapkan di sebuah sekolah terbesar di Selandia Baru yakni Te Aho o Te Kura Pounamu atau biasa disingkat Te Kura).
Te Kura memiliki landasan dari lingkungan belajar online yang dirancang dengan baik.Te Kura membangun lebih dekat hubungan dengan siswa melalui keterlibatan pembelajaran online.
Te Kura didirikan pada tahun 1922. Di masa pra-digital ini, sumber daya pengajaran dan tugas dikirim dan dikembalikan oleh siswa melalui surat untuk penilaian dan umpan balik.
Artinya, jauh sebelum pandemi Covid-19, Te Kura telah mengadopsi model pengajaran yang bervariasi dari sesi online hingga tatap muka jika diperlukan atau dimungkinkan.
Belakangan ini, Te Kura memanfaatkan D2L’s Brightspace – sebuah platform pembelajaran telah dicoba dan diuji sehingga para guru sudah tahu cara mengelola tugas sulit untuk melibatkan siswa ketika Covid-19 melanda dan, dengan hanya menjentikkan tombol, mereka sepenuhnya online.
Melalui platform berbasis video, para guru dan siswa bisa belajar bersama dengan cara baru, sementara alat penilaian cerdas mengurangi beban administrasi bagi pimpinan dan tenaga adminstratif sekolah. (Bdk. Desire2Learn - Te Kura - Success Story, 2021.
Kuncinya adalah hubungan guru-siswa
Meski ada banyak kendala dan tantangan atau tuntutan digital semakin meningkat, program Merdeka Belajar harus terus dikembangkan secara terencana dan terukur, bukan cara pendekatan yang instan.
Untuk mengembangkan Merdeka Belajar secara berkelanjutan, kita rupanya perlu berpaling pada nasehat filsuf pendidikan terkemuka, John Dewey (1859-1952). Dewey percaya bahwa sekolah seharusnya mewakili lingkungan sosial yang riil, dan bahwa siswa dapat belajar dengan cara paling baik ketika berada dalam lingkungan sosial dengan iklim yang kondusif.
Pada sisi lain dia percaya bahwa semua siswa adalah pembelajar yang unik, yang berkembang baik ketika dibimbing oleh gurunya (Bdk. Flinders & Thornton, 2013).
Pendapat Dewey diteguhkan oleh psikolog pendidikan Kanada, George Siemens dalam teorinya tentang konektivitas. Siemens (2004) menekankan gagasan bahwa pengetahuan adalah serangkaian jaringan yang saling terkait tidak hanya dari interaksi sosial, tetapi juga pengalaman, pengamatan digital (iklan, situs web), atau bahkan organisasi. Konektivitas itu adalah proses pembelajaran.
Siemens juga mengatakan dalam dunia pendidikan yang terdigitalisasi, para guru berperan membantu para siswa supaya selalu "terhubung’, termasuk secara digital dan selalu bertanggung jawab atas kegiatan belajarnya.
Namun, gerakan Merdeka Belajar tidak cukup hanya memberi ruang bagi siswa untuk mengembangkan dan mengendalikan proses pembelajaran sendiri. Sekolah dan guru juga harus merancang lingkungan belajar (digital) yang mampu memikat perhatian, memotivasi, dan menumbuhkan disiplin belajar secara mandiri. Dan yang lebih utama adalah membangun hubungan emosional yang erat antara guru dan siswa dalam proses pembelajaran,
Tanpa itu maka Merdeka Belajar akan menjadi sebuah slogan kosong, dan para siswa akan tetap menjadi orang yang tidak merdeka belajar. Bahkan, mereka bisa terjebak menjadi siswa yang bebas untuk tidak belajar.
https://edukasi.kompas.com/read/2022/05/14/054418471/mengawal-merdeka-belajar