KOMPAS.com – Kemajuan teknologi digital yang begitu cepat semakin memudahkan kaum muda Indonesia untuk mencari informasi dan berita.
Penelitian British Council melalui Next Generation Indonesia yang berfokus pada kaum muda mendapati, responden dari kelompok usia 25 tahun ke bawah cukup bergantung pada media sosial.
Penelitian tersebut melibatkan sebanyak 3.093 responden yang tersebar di 34 Provinsi, dengan usia 16-19 tahun sebanyak 20 persen, usia 20-24 tahun sebanyak 27 persen, usia 25-29 tahun sebanyak 25 persen, dan usia 30-35 tahun sebanyak 28 persen.
Responden yang tersebar di daerah perkotaan sebanyak 58 persen dan 42 persen dari pedesaan dan daerah terpencil. Sementara itu, 55 persen responden tinggal di pulau Jawa.
Senior Programmers Manager British Council Indonesia, Ari Sutanti memaparkan, media sosial memiliki peran penting untuk membentuk anak muda Indonesia dalam mengakses berita dan menggunakannya untuk berkomunikasi.
“Kelompok usia yang lebih tua memakai social media dengan informasi yang lain, televisi dan koran. Kelompok usia yang lebih muda yang usia 25 ke bawah, itu sepenuhnya bergantung pada social media,” ungkapnya dalam “Youth Co:Lab National Dialogue 2022," di Hotel Ashley, Jakarta, Rabu (26/10/2022).
Kaum muda berusia 25 tahun ke bawah, jelas dia, pada umumnya menggunakan platform media sosial seperti facebook dan twitter.
Oleh karena itu, dibutuhkan peningkatan kualitas literasi digital agar mereka dapat menggunakannya dengan baik dan bijak, juga terhindar dari berita palsu dan perundungan siber. Kaum muda sendiri mengakui mereka seringkali merasa tidak menerima adanya berita palsu.
Pentingnya literasi digital untuk kesehatan mental
Next Generation Indonesia menemukan juga sebanyak 99 persen kaum muda memiliki perangkat digital. Sementara itu, 70 persen dari mereka sudah memiliki akses ke internet.
Apabila ditelaah lebih dalam, kaum muda tersebut menggunakan internet dan media sosial untuk mengekspresikan suara dan identitasnya, berusaha dalam bidang kewirausahaan, terlibat aktif dalam isu sosial dan politik, dan untuk mendapatkan berita dan informasi dengan cara baru.
Co-Founder, Greatmind.id, David Irianto menuturkan baru-baru ini pihaknya berbicang-bincang dengan beberapa kaum muda yang mengakui bahwa mereka mencari informasi dari Tiktok.
“Aku baru ngobrol beberapa anak muda, mereka bahkan mencari berita itu TikTok. Jadi search engine bagi mereka itu bukan google lagi tapi TikTok,” ungkap David.
David menambahkan hal ini cukup berbahaya karena algoritma yang misterius dan kurang dapat dipercaya.
Manajer Pilar Pembangunan Ekonomi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Setyo Budiantoro juga menyampaikan, kaum muda lebih senang mencari referensi berita dan informasi dari media sosial seperti Instagram karena tertarik dengan visual dan foto-foto.
Namun, ia menyebut, hal tersebut dapat menyebabkan timbulnya rasa takut karena merasa “tertinggal” atau yang akrab disebut dengan Fear of missing out (FOMO) karena pada umumnya orang menampilkan hal-hal yang baik pada media sosialnya.
Lama-lama, kata dia, orang menjadi sulit menerima dirinya dan tidak bahagia karena merasa tidak mampu mengikuti orang lain, sehingga berdampak pada kesehatan mental mereka.
“Keinginan mereka nggak tercapai karena mereka melihat sosial media, sehingga mereka enggak bahagia. Diskrepansi antara harapan dan realitas itu tinggi yang kemudian berdampak pada mental health,” ujar Setyo.
Oleh karena itu, Setyo berpendapat bahwa kualitas literasi digital memang perlu menjadi perhatian penting, khususnya dalam hal mengedukasi kaum muda. Dengan demikian, mereka dapat menggunakan media sosial dengan baik dan bijak.
Hal senada juga diungkapkan oleh David bahwa peningkatan pengguna teknologi hendaknya diiringi dengan kualitas literasi digital, sehingga mereka mampu berpikir secara analitis atau analytical thinking. Dengan demikian, mereka mampu mengevaluasi dan mengatasi masalah yang ada.
David mencontohkan dengan platform LinkedIn yang sengaja dirancang bagi orang-orang yang menemukan pekerjaan yang tepat, sehingga wajar jika orang-orang memposting informasi pekerjaannya di LinkedIn tersebut.
Oleh karena itu, kaum muda harus mampu berpikir secara analitis agar tidak merasa minder dengan keberhasilan orang lain.
"Ketika seseorang tidak punya digital literasi yang cukup baik, lalu dia menggunakan digital platform yang besar. Akhirnya tanpa sadar dia tenggelam di dalam perasaan perasaan yang terbentuk dari sebenarnya algoritma yang ada di sosial media,” ungkap David.
https://edukasi.kompas.com/read/2022/10/28/151922371/kaum-muda-jadikan-media-sosial-sebagai-sumber-informasi-dan-berita