KOMPAS.com - Teknologi yang ada sekarang tentu tak ada di zaman manusia purba. Bahkan peralatan manusia purba juga masih sangat sederhana karena menggunakan bahan dari alam.
Bagi siswa yang masih sekolah dan sedang belajar tentang manusia purba, maka berikut ini informasi yang dirangkum dari laman Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Kemendikbud Ristek.
Di Indonesia sendiri, nenek moyang manusia Indonesia diperkirakan hidup 1,5 juta tahun yang lalu di pulau Jawa yang bermigrasi dari benua Afrika.
Tentunya, perjalanan manusia purba ini tidak singkat, tetapi melalui proses panjang dari generasi ke generasi hingga menghuni serangkaian pulau di selatan kepulauan Indonesia dari Jawa hingga ke Flores.
Sedangkan terkait teknologi, tentu menjadi salah satu unsur budaya manusia yang memegang peran penting dalam proses evolusi manusia.
Berkat teknologi, manusia mampu berkompetisi dengan makhluk lain dan berhasil mengatasi seleksi alam. Bahkan melalui teknologi, manusia kemudian mampu menguasai alam.
Manusia purba Indonesia meninggalkan beberapa bukti teknologi berupa artefak alat-alat batu sederhana, seperti bola batu, alat-alat serpih (fakes), kapak pembelah (cleaver), serut (scraper) serta kapak batu.
Sejumlah perkakas batu yang telah diidentifikasi oleh para arkeolog sebagai karya manusia purba, ditemukan antara lain di Pacitan, Sangiran, Ngandong (Jawa Tengah) kemudian di luar Jawa yaitu Cabengge (Sulawesi Selatan), dan daratan Flores Tengah dan Barat.
Sesungguhnya situs-situs paleolitik di Indonesia sudah cukup banyak ditemukan, namun yang akan dibahas meliputi wilayah Pacitan, Sangiran dan Ngandong di Jawa, Sulawesi hingga Flores.
Peralatan manusia purba dari berbagai daerah
1. Alat batu purba dari Pacitan
Menurut para peneliti terdahulu, perkakas batu yang ditemukan di Pacitan berasal dari lembah Baksoko yang telah mengalami pengikisan. Ditemukan pada lapisan teras sungai yang terletak pada ketinggian sekitar 15-20 m di atas aliran sungai yang telah diendapkan dan dasar aliran sungai sekarang.
Alat-alat batu itu dibuat menggunakan bahan dari batuan tufa kersikan (silicified tuff), batugamping kersikan (silicified limestone), dan fosil kayu.
Pada umumnya temuan itu terdiri dari kapak genggam, serut berpunggung tinggi dan bersudut tajaman tinggi, dan sejumlah alat serpih berukuran besar.
2. Alat batu serpih Sangiran
Sedangkan penelitian Koenigswald pada tahun 1934 di Kubah Sangiran menyebutkan adanya sejumlah temuan alat serpih dan batu jasper dan kalsedon yang telah mengalami pembulatan dan berkerak (patina).
Ini ditemukan di kubah Sangiran. Bentuk dan ukuran artefak batu tersebut sangat berbeda dengan temuan dari Kali Baksoko, terdiri dan alat-alat yang relatif berukuran kecil sekali, bahkan di bawah ukuran rata-rata alat-alat serpih yang umum ditemukan.
Temuan-temuan di atas itu kemudian banyak dibicarakan oleh para ahli, karena terjadi perbedaan pendapat mengenai asal usul endapannya. Ada yang menyebutkan berada pada kala Pleistosen Tengah dan ada pula di Pleistosen Akhir.
Di tahun 1992 dan 1995 kembali disorot temuan alat-alat batu serpih Sangiran, karena penggalian yang dilakukan di lapisan Kabuh antara 4,5 dan 9 meter di atas Grenzbank di Ngebung dipastikan dari Kala Pleistosen Tengah.
Penggalian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional bekerjasama dengan MNHN sekitar tahun 1992/1995 mendapatkan alat-alat batu antara lain berupa bola batu, kapak pembelah (cleaver) dan batu pukul dari kuarsa.
Alat batu yang ditemukan terdiri dari batu inti berukuran kecil, bersama serpih kecil dan bilah. Disebutkan juga ditemukannya bola batu dan batu pemukul dari kuarsa.
3. Perkakas batu dari Ngandong
Beberapa peneliti pernah melaporkan adanya temuan peralatan manusia purba dari batu dan tulang yang berasosiasi dengan fosil-fosil manusia. Temuan itu antara lain serut batu ukuran kecil dan serpih kalsedon berbentuk segi tiga.
Laporan lainnya menyebutkan penemuan alat tulang dan tanduk. Sebuah temuan cukup unik juga didapatkan berupa harpun yang bergerigi di kedua sisinya.
Penemuan dua alat batu yang oleh Tim Jacob justru berhasil membuktikan bahwa temuan itu berasal dan endapan kerikil dari akhir Kala Pleistosen Tengah yang diperkirakan sejaman dengan lapisan yang menghasilkan fosil tengkorak Homo erectus.
Alat batu yang ditemukan itu berbahan batuan andesit basalt dan diidentifikasi adanya pembulatan. Secara morfologi teknologi alat itu adalah kapak penetak dan serpih yang diretus. Kedua temuan tersebut di atas adalah bukti kuat bahwa Homo erectus Jawa telah membuat alat-alat kerja dan jenis batuan-batuan dengan kekerasan tertentu.
4. Alat batu dari Cabbenge, Sulawesi Selatan
Sampai saat ini memang belum ada kesepakatan dari para ahli, untuk mengelompokkan alat-alat batu yang ditemukan di teras-teras sungai Wallanae, apakah dari kala Pleistosen ataukah Holosen. Hal ini disebabkan masih terbatasnya penelitian yang terkait dengan krono-statigrafi.
Interpretasi terdahulu menyebutkan bahwa alat-alat batu yang berpatinasi dan berasosiasi dengan tulang-tulang fauna diduga kedudukannya pada Kala Pliosen Akhir.
Namun pendapat itu dibantah oleh penelitian geologis yang dilakukan oleh Tim Sartono ketika itu (1976). Kemudian Bastra (1977) memberi dukungan atas alat-alat berpatina yang ditemukan di lapisan kerikil pada teras sungai yang tertinggi, yaitu lebih tua dibanding dengan alat-alat batu Toala yang ditemukan dekat sungai.
Deskripsi Soejono mengenal temuan alat-alat batu Cabengge meliputi serpih kecil tapi tebal, batu inti yang masif, kapak genggam, dan alat batu berbentuk serut berpunggung tinggi tipe Tapal Kuda (horse-hoof type).
5. Flores dan Timor menyimpan alat batu "Paleolitik Awal"
Daya tarik lain tentu saja bukti-bukti arkeologi berupa fosil manusia purba Homo floresiensis beserta perkakas batunya yang terkubur di Liang Bua. Pada tahun 2016 di daratan Flores, NTT yaitu Situs Mata Menge yang berada di Cekungan Soa, dengan penemuan fosil manusia purba yang setara dengan situs Sangiran di Jawa.
Laporan Maringer dan Verhoeven yang muncul pada tahun 1970 cukup mengejutkan dunia arkeologi. Daerah yang dilaporkan adalah di situs padang kering Lembah Mengeruda yang menyingkap sejumlah alat-alat batu purba bersama fosil stegodon.
Temuan alat batu tersebut menyerupai atau dapat disejajarkan temuan-temuan alat batu dari Pacitan, Sangiran dan Sulawesi. Kemudian suatu ekspedisi di tahun 1991-1992 yang mengunjungi jejak penelitian Verhoeven dan Maringer di sekitar Situs Mata Menge, dan penelitian itu menemukan alat-alat batu serpih dan bahan batu rijang dan basalt yang dipastikan sebagai hasil karya manusia purba (Homo erectus).
Dari penelitian selanjutnya di daratan Flores Tengah, berbagai bukti temuan artefak batu (alat-alat masif dan serpih) serta fosil-fosil tulang fauna (Stegodon pigmy, Crocodilus dan Geochelonidae) bermunculan dan ditemukan oleh para peneliti di kotak penggalian di Situs Kobatua.
Bukti temuan ini merupakan data baru yang penting, karena hasil pengamatan dan analisis stratigrafi, menunjukkan adanya data umur yang diprediksi lebih dari 1 juta tahun lalu.
Data temuan umur alat batu tertua di Cekungan Soa yaitu Situs Wolosege berumur 1.02 juta tahun lalu dalam Brumm (2010). Menurut para peneliti kepunahan manusia purba beserta faunanya di Soa ketika itu, diakibatkan oleh terjadinya bencana alam dengan meletusnya sejumlah gunung berapi di Flores.
https://edukasi.kompas.com/read/2022/11/01/091400971/peralatan-manusia-purba-dari-pacitan-hingga-flores