KOMPAS.com - Beberapa hari belakangan, netizen dikejutkan dengan dua video yang menunjukkan tindakan kekerasan fisik dilakukan oleh murid remaja.
Pertama, murid berseragam menendang seorang nenek di Tapanuli Selatan dan kedua, seorang murid menendang temannya sendiri di Nganjuk.
Hal tersebut mendorong aktivis pendidikan sekaligus ketua Kampus Pemimpin Merdeka, Rizqy Rahmat Hani, angkat bicara.
Dia menegaskan, sekolah punya urgensi untuk meningkatkan kualitas pendidikan karakter agar hal seperti ini tidak terulang kembali.
“Pendidikan karakter tidak bisa dikembangkan hanya dengan mengerjakan soal dan membuat poster no-bullying,” kata Rizqy dalam keterangan Yayasan Guru Belajar, Rabu (23/11/2022).
Ia mengatakan, guru dan orangtua berperan dalam pembentukan karakter anak, di mana anak akan lebih bisa untuk mencontoh ketimbang hanya diberikan soal atau nasihat.
1. Hati-hati, murid bisa belajar kekerasan dari guru dan orangtua
Penyebab maraknya tindakan kekerasan oleh remaja sangat kompleks. Rizqy mengungkapkan, sekolah juga ambil peran melanggengkan budaya tersebut.
Guru bisa jadi tanpa sadar melakukan praktik kekerasan dalam keseharian mengajar.
Seperti misalnya ketika murid terlambat mendapat hukuman push up atau saat murid tidak bisa mengerjakan soal akan dicemooh di depan kelas.
“Kasus kekerasan di sekolah seperti lingkaran setan, mereka melihat praktik kuasa seakan hal yang lumrah dan biasa,” jelasnya.
2. Menciptakan ruang kelas aman dan nyaman
Rizqy menyampaikan, budaya sekolah anti kekerasan harus dimulai dari budaya positif di kelas.
Sudah saatnya guru menciptakan kelas yang aman dan nyaman bagi murid. Tidak ada lagi kekerasan, baik fisik maupun verbal.
Seringkali guru beralasan hal tersebut dilakukan demi meningkatkan kedisiplinan. Padahal sebenarnya hal tersebut sama sekali tidak benar. Kedisiplinan muncul dari rasa tanggung jawab.
“Alih-alih aturan yang bersifat searah, buatlah kesepakatan kelas. Ini akan menguatkan nilai peduli, saling menghormati, dan tanggung jawab atas apa yang mereka turut sepakati,” terang Rizqy.
3. Journaling bisa jadi solusi
Berdasarkan pengalaman Rizqy saat menjadi guru dan cerita praktik rekan-rekannya, aktivitas journaling bisa membantu murid untuk meregulasi emosinya.
Cara ini terbukti efektif untuk murid jenjang SMP dan SMA.
Melalui aktivitas tersebut, murid lebih dapat memahami apa yang sedang dirasakannya. Guru juga bisa mengetahui kondisi sang murid, termasuk jika sedang mengalami permasalahan dengan teman atau keluarga.
“Seringkali perundung adalah murid yang mengalami masalah keluarga. Dengan mengetahui apa yang sedang dialami murid, guru bisa mencegah tindakan kekerasan yang bisa saja akan dilakukannya,” jelas aktivis yang pernah jadi guru SMA di Pekalongan ini.
4. Ajak murid belajar dari isu sekitar
Rizqy juga menyampaikan pentingnya sekolah memberikan pembelajaran pada murid yang sesuai dengan isu sekitar.
“Gerakan melawan kekerasan ini bukan sesuatu yang parsial terpisah dari pembelajaran. Maka jika ingin ini terintegrasi dalam budaya, penting bagi sekolah memberikan pembelajaran pada murid yang sesuai isu sekitar,” terangnya.
Contohnya mendiskusikan isu kekerasan yang sedang viral ini bersama murid. Guru bisa mulai tanyakan, mengapa seseorang melakukan kekerasan serta apa yang mereka rasakan ketika mendengar berita tersebut.
Dari pertanyaan yang esensial, akan bisa mengalir diskusi yang bermakna.
“Ini yang juga yang sedang kami perjuangkan di Kampus Pemimpin Merdeka. Kami membantu sekolah-sekolah, bagaimana sih menerapkan Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila. Karena ini juga sesuai arahan Kemendikbud Ristek untuk sekolah-sekolah, pengembangan karakter mendapatkan porsi yang besar,” pungkas Rizqy.
https://edukasi.kompas.com/read/2022/11/29/120000971/marak-aksi-bullying-aktivis-pendidikan--anak-mencontoh-guru-orangtua