KOMPAS.com - Menjalani hubungan atau relasi dengan siapa saja tentu harus ada batasnya. Jangan sampai justru menjadi hubungan yang toksik atau tidak sehat.
Toxic relationship adalah suatu hubungan atau relasi yang tidak sehat sehingga menimbulkan perasaan negatif.
Terkait hubungan toksik, Psikolog Universitas Airlangga (Unair) Ayu Kartika, SPsi., MPsi., Psikolog., memberikan penjelasannya.
Menurutnya, hubungan toksik sebenarnya sangat beragam. Beberapa karakteristik hubungan tidak sehat seperti memaksakan kehendak, suka berbohong, bersikap terlalu curiga, hingga merendahkan pasangan.
Selain itu, hubungan terkategori toksik jika melibatkan kekerasan baik secara fisik, emosional, seksual, finansial, atau penelantaran.
Ia menyebut, keinginan untuk selalu bergantung (kodependensi) pada orang lain dan narsistik juga menjadi tanda seseorang menjalin hubungan tidak sehat.
"Jadi sebenarnya toxic relationship hanya istilah umum yang sering kita gunakan. Sebab ada banyak jenis hubungan tidak sehat dalam relationship spectrum," ujarnya, seperti dilansir dari laman Unair, Senin (28/8/2023).
Adapun salah satu penyebab seseorang terjebak hubungan toksik ialah adanya siklus trauma. Kejadian di masa lampau yang tidak menyenangkan ternyata dapat mempengaruhi otak.
Sehingga saat dewasa, orang cenderung menjalin hubungan yang serupa dengan pengalaman hidupnya.
"Sebagai ilustrasi, anak yang sering mendapatkan perlakuan kekerasan dari orang tua, maka ketika dewasa akan rentan terjebak dalam toxic relationship. Alasannya, karena mereka sudah familiar dengan situasi tersebut dan inilah yang dinamakan cycle of abuse," jelas Ayu.
Untuk dampak akibat hubungan yang tidak sehat yaitu gangguan sosial, ketidakmampuan emosional, bahkan perkembangan saraf terganggu.
Maka, ia menyarankan bagi seseorang yang berada dalam hubungan toksik untuk berani keluar dari ikatan tersebut.
"Cari akar permasalahan yang menyebabkan kalian merasa mengalami hubungan tidak sehat, misalnya perasaan tidak dicintai, cemas, penolakan, dan lain-lain. Kemudian, jangan ragu untuk memutus lingkaran toksik," ungkapnya.
Ayu juga menjelaskan bahwa usai melewati tahap perpisahan, penting bagi seseorang meluangkan waktu untuk menyadari bahwa proses tersebut tidak mudah.
Selain itu, menilai kualitas hubungan sebelumnya dan mengenali kembali batasan personal.
"Jangan terburu-buru untuk bersikap reaktif, kita akui kalau tahap move on memang membutuhkan waktu. Dari sini, kita bisa menjadikannya sebagai pelajaran saat menjalin hubungan ke depan," katanya.
Hal yang bisa dilakukan ialah dengan refleksi diri. Selain itu, mengenali strategi coping yang sehat seperti olahraga, latihan relaksasi, validasi emosi, dan journaling.
"Proses ini dapat mempermudah seseorang pulih secara emosional," imbuhnya.
Bisa pula dengan mendefinisikan kembali makna cinta yang ingin dibangun dalam relasi baru.
Karenanya, Ayu berpesan kepada pasangan yang pernah terjebak dalam hubungan toksik agar menyembuhkan diri terlebih dahulu. Dengan begitu bisa mencegah agar tidak menjadi pelaku dari lingkaran toksik.
https://edukasi.kompas.com/read/2023/08/28/163001171/psikolog-unair-ini-tips-keluar-dari-hubungan-toksik