KOMPAS.com - Setiap orang memiliki hak untuk mampu mendapatkan pendidikan dengan layak. Tetapi, hal ini terasa sulit bagi masyarakat yang berada di Papua Pegunungan.
Papua masih menjadi daerah yang jauh dan tertinggal, hal ini terlihat dari segi pembangunan infrastruktur yang belum memadai. Di sana juga sering terjadi masalah keamanan yang mengancam keselamatan mereka.
Berbagai masalah tersebut menimbulkan dampak yang besar seperti jika ada kerusuhan, maka anak-anak libur dan tidak akan bersekolah.
Joko Prasetiyo, Area Program Manager Pegunungan Tengah Wahana Visi Indonesia mengatakan bahwa banyak sekali hambatan yang dialami oleh anak-anak di Papua untuk mengakses pendidikan.
“Kerentanan yang dialami melibatkan banyak pihak, bukan hanya satu pihak saja,” ujar Joko di konferensi pers Childhood Hope pada Kamis (2/11/2023).
Ketika anak-anak sudah sampai di sekolah, Joko menyebut tak jarang mereka melihat ruang kelas kosong dan tidak ada guru yang mengajar.
“Guru di sana mau mengajar tetapi mereka juga memiliki hambatan. Seperti tidak adanya rumah untuk guru yang tempat tinggalnya jauh dan guru pendatang itu harus memberikan jaminan keamanan untuk kesana,” kata Joko.
Jarak antara sekolah dan rumah siswa juga cukup jauh. Maka, tak heran jika banyak anak di sana yang belum bisa membaca secara jelas dan masih terbata-bata.
Selain itu, masih banyak orang tua di sana juga belum menyadari pentingnya pendidikan untuk masa depan anak-anak mereka.
Padahal, pendidikan dapat menjadi investasi jangka panjang untuk setiap anak. Memang, manfaat pendidikan tidak bisa dirasakan secara langsung tetapi nantinya dapat berguna di masa yang akan datang.
“Saat itu, banyak orang tua yang bilang sekolah itu bayar dan mereka tidak sanggup. Kemudian, ada sekolah gratis tetapi masih banyak anak yang belum sekolah juga,” kata Joko.
“Masih banyak anak-anak yang lapar ketika sampai di sekolah, mereka belum makan,” kata Joko.
Padahal, anak yang akan pergi ke sekolah harus memiliki energi untuk memahami dan mengikuti pembelajaran. Hambatan selanjutnya adalah tidak meratanya kurikulum yang didapatkan.
Joko mengatakan bahwa di sana masih menggunakan kurikulum KTSP 2006. Padahal, saat ini sebagian besar wilayah di Indonesia sudah menggunakan kurikulum merdeka belajar.
Hambatan-hambatan tersebut menjadi keprihatinan bersama dan memberikan kita gambaran bagaimana sulitnya menempuh pendidikan di Papua Pegunungan.
Hal ini sangat berbanding terbalik dengan anak-anak di wilayah lain yang lebih mudah dalam mengakses pendidikan.
Kondisi tersebut membuat banyak pihak merasa prihatin. Jeni Karay, influencer Papua misalnya. Ia ikut memberikan pendapatnya terkait hal ini.
"Saya rasa masyarakat perlu kolaborasi dan bergandengan tangan untuk menjawab permasalahan ini," kata Jeni.
Dalam konferensi pers, turut hadir Asteria Aritonang selaku resources development and communication director WVI. Ia mengatakan bahwa wahana visi ingin membantu anak-anak di Wamena melalui program Childhood Hope.
"Program ini baru diadakan tahun ini dan berfokus untuk anak di Wamena dan Asmat," ujar Asteria.
Wahana visi juga mengajak masyarakat untuk ikut serta memberikan bantuan melalui donasi.
Donasi yang terkumpul akan digunakan untuk akses pendidikan, rumah baca, akses makanan bergizi, dan perlindungan terhadap anak di sana.
"Masyarakat bisa melakukan donasi secara sukarela, kami tidak mematok besaran donasinya. Kemudian, tidak ada kewajiban untuk donasi setiap bulan," ujar Asteria.
Hal ini membuktikan bahwa setiap bantuan yang kita berikan baik sedikit atau banyak tetap berarti untuk anak-anak yang ada di Wamena.
Harapannya agar semakin banyak masyarakat yang sadar dan peduli terhadap pendidikan dan kesejahteraan anak. Selain itu, kedepannya lebih banyak program serupa.
https://edukasi.kompas.com/read/2023/11/17/200000471/upaya-memperluas-akses-pendidikan-bagi-anak-anak-di-papua-pegunungan-