Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Buku Sejarah Nasional, Faktanya Itu Lho...

Kompas.com - 01/06/2009, 10:02 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Bahan ajar sejarah bagi siswa sekolah saat ini dianggap tidak bisa dijadikan rujukan karena sumber-sumber yang ada lebih merupakan gambaran atau visi sejarah versi penguasa.

Pernyataan itu menjadi salah satu kesimpulan diskusi dan workshop "Membangun Kesadaran Sejarah untuk Kebenaran dan Keadilan" di Jakarta yang berlangsung selama dua hari, Jumat (29/5) dan Sabtu. Selain diikuti oleh para guru sejarah, kegiatan itu juga dihadiri oleh para aktivis kemanusiaan, sejarawan, dan korban sejarah, baik dari peristiwa G30S PKI, peristiwa Tanjung Priok, Peristiwa Talangsari, maupun Peristiwa Semanggi 1998.

Pada diskusi itu, para peserta diskusi dan workshop menuntut pentingnya pembelajaran sejarah yang berperspektif pada kebenaran dan keadilan. "Sebab, selama ini sejarah hanya dari versi pelaku yang tentunya demi kepentingan penguasa, sementara dari sisi korban diabaikan," ujar Suciwati, istri almarhum Munir, sebagai salah satu narasumber diskusi.

Akibatnya, menurut Suciwati, pandangan sejarah berdasarkan fakta yang didapatkan oleh siswa tidak seimbang atau berat sebelah. Selama ini fakta dalam materi bahan ajar sejarah begitu dibatasi sehingga sejarah yang seharusnya disampaikan berdasarkan fakta-fakta yang bisa dipertanggungjawabkan justru malah menjauhi fakta itu sendiri.

Pendapat itu diperkuat oleh materi diskusi yang disampaikan oleh sejarawan Asvi Warman Adam. Menurut Asvi, buku Sejarah Nasional Indonesia (SNI) atau buku babon pun tidak bisa lagi dijadikan rujukan, tak terkecuali SNI terbitan terakhir pada 2008.

"Pada subbab 'Konflik, Kekerasan, dan Komnas HAM', berbagai pelanggaran berat memang disinggung, tetapi dalam perspektif kekerasan belaka, sementara narasumber dari saksi hidup tidak," ujar Asvi. Banyak peristiwa sejarah yang menurut Asvi tetap disembunyikan dari masyarakat hingga saat ini, baik itu peristiwa G30S PKI pada 1965/1966, pembuangan tahanan politik ke Pulau Buru (1969-1979), kasus Tanjung Priok, Talangsari, Timor-Timur, dan banyak lagi.

Menanggapi pendapat Asvi itu, para peserta diskusi, terutama guru sejarah, mengharapkan adanya pemahaman baru sejarah dari versi korban mengingat bahan sumber sejarah selama ini terkesan "kering".

"Toh, substansi yang akan kami angkat dan kami berikan kepada siswa bukanlah paham atau persoalan ideologis, melainkan sisi kemanusiaan, kebenaran, dan keadilan," tandas Suparman, guru sejarah dari komunitas Education Forum.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com