Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Memperebutkan Mendiknas

Kompas.com - 12/06/2009, 12:22 WIB

Namun, sungguh tragis sekaligus hancur bangsa ini bila jabatan mendiknas dipegang oleh parpol/golongan tertentu sebagai imbalan mendukung capres-cawapres. Sebab, kebijakan pendidikan yang dibuat tidak akan terbebas dari kepentingan partai/golongan. Padahal, pendidikan seharusnya berpihak pada semua golongan, termasuk mereka yang tidak beragama dan tidak ikut parpol.

Untuk itu, perlu ditegaskan, siapa pun presiden terpilih, Mendiknas jangan dijadikan bagian dari dagang sapi. Presiden perlu memiliki visi bahwa pendidikan adalah bagian dari proses integrasi sosial dan bangsa sehingga harus dijaga netralitasnya dengan tidak menyerahkan kepada parpol atau golongan tertentu. Terlalu besar risikonya bagi bangsa ini bila Mendiknas diserahkan kepada parpol.

Mendiknas seperti apa yang diperlukan

Pertama, Mendiknas yang mampu berpikir luas, tidak hanya melihat pendidikan dari aspek pendanaan, tetapi juga dari perspektif filsafat manusia, peradaban, budaya, seni, sosial, dan keutuhan bangsa. Seorang Mendiknas yang mampu membuat kebijakan yang memanusiakan manusia, menjunjung tinggi peradaban dan budaya bangsa. Mendiknas hendaknya tidak memenjarakan jiwa manusia dan mengarahkan kita hidup dalam satu dimensi (teknologi informatika) belaka dengan corak budaya tunggal.

Kedua, Mendiknas yang mampu memahami bahwa pendidikan bukan sekadar masalah manajerial saja—sampai harus disertifikasi dengan ISO—tetapi bagian dari proses kebudayaan guna menumbuhkan kepercayaan dan integritas diri sebagai individu, warga, bangsa, dan negara. Dengan demikian, pendidikan akan melahirkan manusia yang memiliki kepercayaan diri tinggi untuk hidup merdeka.

Ketiga, Mendiknas harus mampu mengembalikan sekolah dan perguruan tinggi negeri (PTN) menjadi milik publik, bukan membiarkan kian elitis karena hanya dapat diakses kelompok berduit. Masyarakat miskin yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara terpaksa ke sekolah swasta yang biasanya harus ditanggung sendiri.

Di negara-negara normal, sekolah negeri/PTN dibuka bagi semua, sedangkan yang mahal ada di sekolah-sekolah swasta. Konsekuensi dari pengembalian sekolah negeri/PTN menjadi milik publik adalah Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan yang liberalistik itu harus direvisi atau dicabut.

Keempat, Mendiknas harus mampu menjadikan pendidikan sebagai bagian dari proses integrasi sosial dan bangsa. Karena itu, berbagai kebijakan pendidikan yang mengarah pada eksklusivisme, termasuk melalui formalisasi agama di sekolah negeri hingga murid diketahui agamanya melalui seragam yang dipakai, pemisahan siswa laki-perempuan dalam kelas/kegiatan, dan menutup akses golongan minoritas ke sekolah negeri tertentu, tak boleh dibuat.

Kebijakan yang aneh-aneh itu hanya boleh dilakukan sekolah swasta, bukan sekolah negeri. Sekolah negeri harus terbuka bagi semua golongan tanpa membedakan agama, suku, etnis, dan ekonominya.

Kelima, Mendiknas harus bisa diajak berdialog, misalnya soal ujian nasional. Apakah ujian nasional akan dipertahankan sebagai standar kelulusan—meski penuh manipulasi dan kebohongan—atau sebagai pemetaan dan standardisasi mutu yang tidak berdampak pada kelulusan dan tidak harus dilakukan tiap tahun? Konsekuensinya, perlu revisi PP No 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.

Bila Anda profesor doktor yang merasa mampu memenuhi minimal kelima persyaratan itu, silakan mengajukan diri sebagai calon Mendiknas. Namun, bila Anda seorang profesor doktor yang sepaham dengan aneka kebijakan pendidikan yang liberalistik, diskriminatif, dan eksklusif, jangan bermimpi menjadi Mendiknas karena hanya akan memerosokkan bangsa Indonesia ke jurang kehancuran, secara ekonomi, politik, sosial, budaya, maupun peradaban.

Penolakan terhadap Mendiknas dari parpol juga didasarkan pada sikap pesimisme terhadap mereka yang tidak mungkin mampu menciptakan kebijakan pendidikan yang netral, terbebas dari kepentingan agenda politik internalnya. Untuk itu, dibutuhkan presiden yang sensitif terhadap aneka persoalan kebangsaan agar tidak salah dalam memilih Mendiknas.

(Penulis: Darmaningtyas/Aktivis Pendidikan, Tinggal di Jakarta)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com