Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Banyak Anak Putus Sekolah Karena Bekerja

Kompas.com - 14/06/2009, 02:57 WIB

JAKARTA, KOMPAS.COM - Hasil studi tentang pekerja anak yang dilakukan di lima wilayah Indonesia yaitu Sulawesi Selatan, NTT, Maluku, dan Papua Barat menunjukkan bahwa anak-anak usia 9-15 tahun terlibat berbagai jenis pekerjaan yang berakibat buruk terhadap kesehatan fisik, mental, dan seksual.

Temuan tersebut diungkap Unifah Rohsidih, Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) saat jumpa pers di gedung Guru Jakarta, Sabtu ( 13/6 ), yang merupakan hasil kerja sama dengan International Labour Organization (ILO).

Unifah mengatakan, awalnya pekerja anak tersebut hanya untuk membantu perekonomian orangtua, tetapi lama kelamaan banyak anak yang terjebak sebagai pekerja permanen. "Mereka akhirnya menikmati hasil pendapatan dan berakibat anak lebih sering bolos sekolah dan kemudian drop out ," ungkapnya.

Selain itu, kata Unifah, krisis ekonomi yang berkepanjangan menjadikan orangtua mengutamakan anak laki-laki dari pada anak perempuan untuk bersekolah. Akibatnya, memperbanyak anak perempuan tidak bersekolah, buta huruf atau drop out di pendidikan dasar. "Selanjutnya mereka bekerja sebagai pembantu rumah tangga, buruh tani dan kebun, buruh serabutan dan ada yang terlibat prostitusi," lontarnya.

Temuan lain, lanjutnya, anak-anak hingga usia 12 tahun belum berkesempatan sekolah dasar, dan PGRI provinsi telah memberikan beasiswa serta juga meminta pihak sekolah agar membebaskan dari segala pungutan.

Temuan selanjutnya, anak bekerja dalam berbagai pekerjaan mulai dari pemulung, penjual koran, petugas parkir liar, pemilah sampah TPA, buruh petani dan perkebunan, pengemis, pembantu rumah tangga, pelayan toko dan restoran, pendorong gerobak di pelabuhan dan pasar, penjual platik di pasar, kuli angkut, penyelam mutiara dan ikan teripang di laut tanpa peralatan, kernet, nelayan, buruh bangunan, penjual sayur, dan menyemir.

"Lama kerja anak-anak bervariasi antara empat sampai sembilan jam. Pagi hari kerja pukul 6.00-11.00 . Siang mereka sekolah. Sore hari kerja jam 16.00-19.00 . Pendapatan bervariasi antara Rp 7 ribu sampai Rp 20 ribu perhari, atau antara Rp 35 ribu sampai Rp 100 ribu per minggu," ungkapnya.

 

Langkah untuk mengatasi

 

Unifah mengatakan, berdasarkan temuan tersebut, PGRI mendesak agar pemerintah, pemda, dan departemen terkait untuk melakukan tindakan nyata agar anak-anak dilindungi dan diwajibkan untuk sekolah. "Selama ini wajib belajar hanya imbauan dan tidak diwajibkan," tegasnya.

Selain itu, pemerintah mengalokasikan 20 persen APBN dan APBD untuk pendidikan serta mengentaskan wajib belajar 12 tahun secara merata dan bermutu. "Kalangan pengusaha, pengrajin, dan orangtua untuk tidak mempekerjakan anak berusia di bawah 15 tahun," ucap Unifah.

Orang tua, lanjutnya, harus memberikan kesempatan yang sama dan tidak membeda-bedakan antara hak anak laki-laki dan perempuan dalam memperoleh akses pendidikan. Selain itu, para pengambil keputusan bidang pendidikan, kepala sekolah, pengawas, dan para guru untuk menekankan pentingnya pembelajaran yang menarik, menyenangkan, inspiratif. "Agar anak-anak senang belajar dan dapat menarik anak yang bekerja agar kembali ke sekolah," kata Unifah.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau