Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Prestasi Membanggakan dari SD "Mewah" (Mepet Sawah)

Kompas.com - 21/06/2009, 16:26 WIB

Usai matrikulasi, kegiatan belajar-mengajar pun berlangsung seperti biasa. Untuk memudahkan siswa dalam memahami isi materi pelajaran, guru menggunakan alat peraga atau simulasi. Transfer pengetahuan terjadi secara dua arah dengan lontaran pertanyaan pancingan kepada siswa sehingga terbentuk komunikasi efektif di antara peserta didik dan tenaga pendidik.

Satu minggu sekali tata letak bangku dan meja belajar diubah. Ada kalanya siswa duduk membelakangi papan tulis, atau saling berhadapan, atau justru bertolak punggung satu sama lain. Semua dilakukan agar siswa tidak merasa jenuh di kelas.

"Kami juga menerapkan sistem reward and punishment. Setiap siswa yang berhasil menjawab pertanyaan akan memperoleh hadiah kecil berupa pensil atau penghapus, atau sekadar pujian dari teman-teman sekelasnya. Sebaliknya, siswa yang belum berhasil menjawab pertanyaan diminta mengerjakan ulang soal sampai benar-benar bisa dengan dibimbing teman lain," kata Haryana.

Tiga bulan menjelang UASBN, kegiatan belajar diintensifkan dengan les di sore hari mulai pukul 16.00 hingga 17.00, tiga kali seminggu. Siswa pun terus dihadapkan pada variasi soal-soal UASBN, baik itu uji coba dari tingkat kabupaten, provinsi, dan bahkan contoh soal dari luar kabupaten.

"Setelah itu, guru juga meminta mereka membuat soal sendiri. Kami ingin siswa siap menghadapi segala jenis soal tanpa merasa tertekan. Dengan membuat soal dan mengerja kannya sendiri, siswa berarti siap bertanggung jawab menghadapi UASBN," kata Jumari.

Nindya Dwi Pangesti (12), siswa kelas VI yang berhasil meraih nilai 10,00 pada mata pelajaran Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, mengakui persiapan UASBN seperti ini tidak memberatkannya. "Saya justru jadi penasaran menjawab soal. Kalau ada soal baru, saya tertarik untuk menjawabnya dengan benar," katanya.

Siswa yang lain, Dhea Angie Sapitri (12), mengatakan sistem ini juga membantu siswa untuk dapat pintar bersama. "Tidak ada persaingan. Kemampuan saya dan teman-teman saya sama, jadi kami justru saling dukung agar satu kelas lulus semua," tuturnya.

Meski sudah mengharumkan nama sekolah dan daerah, nasib siswa SDN 1 Panjatan agaknya tidak terlalu menggembirakan. Tahun ini, hanya lima siswa yang melanjutkan pendidikan ke Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional di SMPN 1 Wates dan Galur.

Siswa lainnya terpaksa harus puas bersekolah di SMP negeri biasa karena keterbatasan biaya yang dimiliki orangtua. Sebagian besar siswa SDN 1 Panjatan merupakan anak dari buruh tani atau pedagang pasar yang pendapatannya pas-pasan.

Jumari menyayangkan hal ini. Tetapi, ia tidak bisa berbuat banyak, karena keputusan bersekolah berada di tangan orangtua. "Sebenarnya saya ingin melihat lulusan SD ini bisa bersekolah di Kota Yogyakarta agar prestasi mereka tidak berhenti sampai di sini," ucapnya menutup pembicaraan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com