Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tinggalkan Nafsu Berebut Rezeki!

Kompas.com - 24/07/2009, 09:14 WIB

Oleh: ST SULARTO

KOMPAS.com — Kebijakan sekolah gratis ibarat menu cuci mulut sehabis menu utama sekian kebijakan yang serba kontroversial. Iklan sekolah gratis yang menggebu-gebu ditayangkan dengan jargon ”orangtua jadi loper koran anak jadi wartawan” dan ”anak sopir angkot dapat jadi pilot” justru membingungkan masyarakat. Iklan boong-boongan!

Rupanya ada perbedaan konsep antara pemerintah dan masyarakat. Menurut pemerintah, sekolah gratis artinya murid tidak dipungut sumbangan pembinaan pendidikan (SPP). Menurut masyarakat artinya gratis beneran, cuma-cuma, tak usah bayar.

Untuk sekolah negeri, pemerintah menutup SPP lewat bantuan operasional sekolah (BOS). Siswa, murid, peserta didik memang tak dipungut SPP, tetapi diminta membayar uang kalau mau memperoleh fasilitas dan praksis pendidikan lebih baik. Alasannya, jumlah nominal BOS minim.

Mana yang gratis? Gratis, kok, bayar! Ya bingung! Tentu lain cerita sekolah swasta, karena hidup-matinya tidak tergantung BOS.

Kebijakan buku sekolah ibarat kopi panas atau teh panas sebelum jamuan makan berakhir. Kebijakan terakhir, ditabalkan lewat Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 2 Tahun 2008 mengenai buku elektronik, sebenarnya merupakan salah satu episode kebijakan buku sekolah selama ini.

Dalam hal buku sekolah, terbentang beragam keputusan dan kebijakan, sistem dan pelaksanaan, mulai dari sekolah dipersilakan menentukan sendiri buku pendamping sementara buku wajib disediakan (diterbitkan) oleh pemerintah (Balai Pustaka), hingga yang terakhir demi ketersediaan buku dengan harga murah, diberlakukan kebijakan buku elektronik yang diawali dengan Permendiknas No 11/2005 mengenai masa berlaku buku sekolah lima tahun, dilanjutkan pembelian hak cipta oleh pemerintah.

Alih-alih mengaitkan kurikulum atau penulis buku, akar masalah buku sekolah adalah rebutan rezeki. Bagi penerbit, ikut serta dalam penerbitan buku sekolah adalah rezeki besar untuk menutup kecilnya pemasukan dari penerbitan buku yang kurang laku di pasaran. Di kalangan penerbit, berlaku pula kebijakan biaya silang, bagian dari kiat menyelenggarakan paduan usaha idealisme dan bisnis.

Buku elektronik, kebijakan terakhir mengatasi buku sekolah, dikonsep untuk mengatasi keluhan orangtua. Pemerintah membeli hak cipta sejumlah naskah buku berdasar hasil penilaian Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Buku yang disetujui kemudian diunggah dan masyarakat bisa mengunduhnya dari internet. Maksud kebijakan itu baik: harga buku murah, orangtua tidak usah repot setiap awal tahun ajaran.

Kebijakan Gagal
Rupanya tak disadari, Indonesia bukanlah Jakarta. Di daerah-daerah terpencil, terutama di luar Jawa, banyak yang belum bisa mengunduh bahan dari internet. Alih-alih luar Jawa, bahkan di sekitar Jakarta ada yang tak bisa mengunduh.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com