Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Nurul, Semangat Memintarkan Anak-anak Gunung

Kompas.com - 27/08/2009, 09:37 WIB

Berbagai Latar Belakang
Mereka lalu bekerja. Disediakanlah dua meja, dua white board, dan tiga komputer. Agar memiliki dasar hukum, Nurul melaporkan pendirian komunitas belajar ini kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal serta Kantor Unit Pelaksana Teknis Dinas Pendidikan Kecamatan Tembarak.

Untuk menarik murid, pembukaan komunitas pada 2007 itu diumumkan lewat Pemerintah Desa Kemloko. Dari target 20 murid, jumlah anak yang mendaftar mencapai 37 orang. Proses pembelajaran dimulai dengan melibatkan tujuh relawan, termasuk Nurul.

Proses memintarkan anak-anak gunung pun dimulai. Ini bukan tugas mudah karena para murid berasal dari berbagai latar belakang. ”Selulus SD, ada murid yang langsung menjadi buruh tani, kuli bangunan, hingga pencuri kayu di hutan,” ujarnya.

Maka, pada awal kegiatan belajar para murid sulit diatur. Mereka berpembawaan liar dan acap berkata-kata kasar. Nurul menyikapinya dengan memberi tambahan materi pendidikan budi pekerti, di luar mata pelajaran umum.

Kendala lain juga muncul dari luar komunitas. Pada tahun pertama berdiri, Komunitas Belajar Cendekia Mandiri malah ditentang sebagian warga. Bahkan, sejumlah tokoh masyarakat curiga mereka mengajarkan aliran agama tertentu.

”Waktu itu kami sampai mendapat peringatan keras dan diminta angkat kaki dari Desa Kemloko,” ujarnya.

Nurul mengatasinya dengan menguatkan ikatan di antara para murid. Dengan upaya ini, dia berharap anak-anak tetap bersemangat belajar bersama dan mampu memberi citra baik komunitas kepada masyarakat desa.

Minat Belajar Rendah
Ketika komunitas belajar sudah diterima warga, muncul tantangan lain. Ternyata minat belajar sebagian murid itu rendah. Ini mengakibatkan jumlah murid menyusut, hingga hanya ”tersisa” 23 siswa. Jumlah siswa ini pun naik-turun seiring aktivitas musim tanam dan panen tembakau.

”Sekolah ini berada di lingkup petani tembakau sehingga kami harus memahami bahwa anak-anak itu diwajibkan membantu orangtua bertani tembakau,” ujarnya.

Mengikuti ritme kesibukan bertani dan musim panen tembakau pada Agustus-September, jam belajar yang sebelumnya berlangsung setiap hari pun diubah menjadi sekali dalam seminggu.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau