Kurikulum yang dipakai mengacu pada kurikulum pendidikan luar sekolah, meskipun di luar kurikulum setiap anak bebas untuk memilih belajar apa saja, mulai dari melukis, menari, bernyanyi, atau mengutak-atik komputer. Semuanya gratis.
”Terkadang kami mengajak teman yang punya keahlian khusus untuk mengajar dan membagi ilmunya dengan anak-anak komunitas,” ujarnya.
Dengan cara itu, tahun lalu anak-anak di Komunitas Belajar Cendekia Mandiri bisa membuat film indie didampingi seorang produser film indie dari Yogyakarta.
Dalam menyampaikan materi pelajaran pun, pengajar menempatkan diri setara dengan para murid. ”Anak-anak bebas bertanya, protes, atau berdialog dengan pengajar tanpa harus memanggil dengan embel-embel mas, mbak, pak, atau bu.”
Untuk mendukung biaya operasional, Komunitas Belajar Cendekia Mandiri didukung dana yang relatif terbatas. Setiap bulan komunitas ini mendapat sumbangan Rp 2 juta dari donatur dan lebih dari 50 persen di antaranya untuk honor para relawan.
Kendati sudah berhasil mendirikan satu komunitas belajar, Nurul masih berkeinginan mendirikan komunitas serupa di berbagai desa di kawasan lereng Gunung Sindoro-Sumbing. Dengan itu, dia berharap tidak ada lagi anak usia sekolah yang terpaksa putus sekolah karena terkendala ketiadaan biaya.
”Putus sekolah karena kita tidak punya biaya itu sungguh menyakitkan hati,” ucapnya serius.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.