Oleh: Agus Suwignyo
Meski mewarisi sistem kolonial, pendidikan kita dibangun dan dibesarkan dalam tradisi kritik nasionalis. Pendiri Sarekat Islam, Taman Siswa, Muhammadiyah, dan sekolah-sekolah yang dikategorikan ”liar” oleh pemerintah kolonial menyandarkan keberhasilan perjuangan politik pada ketangguhan kritik yang dibangun.
Kritik menjadi kekuatan perlawanan atas sistem pendidikan yang hegemonik, diskriminatif, dan hanya terpaku pada misi reproduksi kelas sosial.
Tradisi kritik yang tangguh itu kini luntur atau bahkan lenyap. Indikasinya, semakin deras kritik dilontarkan atas suatu kebijakan pendidikan, semakin keukeuh kebijakan dipertahankan. Indikasi ini memiliki dua dimensi. Sikap pembuat kebijakan yang amat kenyal semakin sulit ditembus karena pisau kritik yang tumpul.
Kunci efektivitas kritik adalah campuran verbalitas, frekuensi kritik, dan rasionalitas substansi. Selain itu perlu disadari, ranah se-publik pendidikan adalah ekosistem aneka kepentingan. Implikasinya, tiap kebijakan dan praktik pendidikan pasti bermuatan politis. Kritik pendidikan yang efektif mengandaikan terbukanya ruang kompromi. Sudahkah ini terperhatikan?
Dua hal
Ada dua hal yang mendesakkan kebutuhan akan kritik(us) pendidikan yang tangguh. Pertama, akar krisis pendidikan Indonesia (Kompas online, 21/8/2009) bukan hanya hilangnya political will pemerintah untuk melindungi rakyat dari neoliberalisme, tetapi juga absennya kontrol atas kebijakan melalui kritik tajam dan terukur.
Kedua, jajak pendapat Kompas (24/8/2009) menunjukkan, pemerintahan nanti cenderung sulit dikontrol karena kuatnya koalisi partai dan lemahnya pengawasan. Hal ini mencuatkan penguatan civil society. Bersama elemen masyarakat (mahasiswa dan LSM), kritikus pendidikan ditantang menjalankan fungsi penyeimbang kebijakan publik.
Otokritik
Selama ini kritik pendidikan cenderung menyorot pemerintah secara bias. Pemerintah menjadi faktor sentral pembuatan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan. Namun, mustahil jika kisruh pendidikan seluruhnya bersumber pada pemerintah.
Pemerintah yang mana? Dalam anggaran pendidikan, pemerintah pusat dan daerah senapas desentralisasi dan otonomi. Ujian nasional adalah kebijakan pusat, tetapi juga harus disebut Badan Standar Nasional Pendidikan dan mungkin dinas pendidikan di daerah.
Sertifikasi guru diatur pemerintah pusat. Namun, dalam beberapa kasus, seperti terlihat pada surat pembaca, kepala sekolah bertindak sebagai ”pemerintah”, meramaikan proses sertifikasi.
Kedua, kritik sering mengabaikan karakter politis pendidikan sebagai ekosistem aneka kepentingan. Dalam hal Ujian Nasional dan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan, ada arah untuk menolak tanpa kompromi. Artinya, sementara mengkritik paradigma kekuasaan, penolakan tanpa kompromi menunjukkan hal yang sama. Perspektifnya win-lost alih-alih win-win.