Mental korup rupanya menjalar sampai ke ranah pendidikan. Di wilayah yang mestinya mengajarkan budi pekerti ini, justru berkembang kebiasaan buruk. Bertahun-tahun tunjangan guru jadi bancakan orang-orang rakus.
Akan tetapi, apa daya, para guru swasta hanya bisa menahan kesal. Memprotes persoalan ini bisa berakibat fatal, yaitu pemecatan dari pekerjaan! Kekesalan hanya berani mereka tumpahkan kepada sesama guru, seperti yang terjadi pada minggu ini di Sekretariat Persatuan Guru Swasta Indonesia (PGSI) di Jalan Seksama, Medan.
Seperti tahun sebelumnya, pemotongan tunjangan fungsional kembali terjadi tahun ini. Bejo, seorang guru di Kecamatan Medan Timur, bingung.
Dana tunjangan yang diharapkannya belum turun, tetapi tunjangan sudah dipotong untuk kepentingan administrasi bank dan Pajak Penghasilan (PPh).
Sekolahnya juga sudah meminta bagian untuk kepentingan yang sama, yaitu ”biaya administrasi.”
Sebagian dana tunjangan ini sudah turun. Namun, tidak dalam jumlah yang utuh. Ucok, bukan nama sebenarnya, seorang guru swasta di Kecamatan Medan Baru, mengaku kesal. Tunjangan yang mestinya Rp 1,2 juta untuk semester awal tahun ini, hanya diterimanya
”Palak kali awak (kesal sekali saya). Semua urusan sepertinya pake biaya,” katanya.
Biaya paling besar justru datang dari pihak sekolah. Sementara itu, pihak sekolah berdalih untuk menutupi biaya lobi dan administrasi di Kantor Dinas Pendidikan.
Saat Kompas meminta namanya untuk disebut dalam berita, semua guru itu menolak. Mereka takut akan berakibat pada pekerjaannya. Pihak sekolah memang telah mengunci mulut guru ini dengan ancaman, baik langsung maupun tidak langsung. Buktinya sudah pernah terjadi.