Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pagi Jadi Guru, Siang Jadi Tukang Cuci Piring

Kompas.com - 12/11/2009, 06:26 WIB

Rumahnya di Desa Pringsari yang cukup jauh dari warung itu dibiarkan kosong setelah listrik diputus PT PLN lantaran ia tak sanggup membayar tagihan.

”Saya sempat mau berhenti mengajar dan cari pekerjaan lain atau buka warung, tetapi orangtua murid menahan. Saya jadi enggak tega,” tutur Uniah yang sudah 10 tahun mengajar di TK Bakti Putra I.

Pariyati (29), guru lainnya, juga hanya menerima honor Rp 180.000 per bulan. Uang itu malah hanya habis untuk biaya transportasi dari rumahnya di Ungaran Barat menuju TK yang berjarak sekitar 10 kilometer. Saat dua tahun lalu melamar menjadi guru di sana, ia tergiur bisa diangkat menjadi pegawai negeri sipil. Namun, mimpi itu kandas lantaran tidak lagi ada formasi untuk guru TK.

”Sekarang ini saya sudah enggak bisa mundur. Kalau enggak ada lagi yang mau mengabdi seperti kami ini, lalu siapa lagi yang mau,” tuturnya.

Berbeda dengan Uniah yang sampai harus bekerja sampingan sebagai tukang cuci piring, untuk kebutuhan sehari-hari Pariyati masih mendapat pasokan dari suaminya yang bekerja di sebuah perusahaan di Ungaran. Kebutuhan hidupnya bersama dua anak yang duduk di kelas V dan I SD terpenuhi dari penghasilan suami.

Marzukoh, Ketua Yayasan Pertiwi yang menaungi sekolah itu, bertutur, rendahnya upah guru TK tidak terlepas dari minimnya dana yang didapat yayasan. Sebagai TK swasta, operasional sekolah bergantung pada sumbangan orangtua murid yang hanya Rp 20.500 per bulan. Itu pun sebagian masih menunggak. Tahun ini, honor terpaksa dipangkas Rp 30.000 karena guru bertambah dari tiga orang menjadi empat orang. Guru baru, Iluh (26), hanya bisa diberi honor Rp 150.000 per bulan. ”Itu pun kami sudah tertolong dari bantuan desa untuk menutupi kekurangan anggaran sekitar Rp 2 juta setahun,” ucapnya.

Menurut Ketua Forum Komunikasi Guru TK Swasta Kabupaten Semarang Ida Nur Farida, kondisi Uniah dan Pariyati merupakan wajah sebagian besar guru TK swasta di Kabupaten Semarang. Setidaknya terdapat 1.082 guru TK swasta di Kabupaten Semarang dengan tingkat pendidikan SD sebanyak 10 orang, SMP (46), SMA (522), D-2 (359), dan S-1 (145). ”Bahkan, ada guru yang hanya mendapat honor Rp 50.000 per bulan. Akhirnya, mereka harus bekerja sampingan untuk bertahan hidup,” tuturnya.

Ia mengakui ada beberapa TK di perkotaan yang mampu memberi upah guru di atas Rp 1 juta, tetapi itu masih bisa dihitung dengan jari. Mayoritas kesejahteraan guru TK di pedesaan masih sangat minim karena manajemen yayasan belum baik sehingga bergantung pada sumbangan orangtua murid. Padahal, kemampuan ekonomi masyarakat desa terbatas.

Ia berharap pemerintah membantu dengan meningkatkan insentif bagi guru TK. Selain itu, pencairan dana insentif hendaknya dipercepat menjadi paling lama tiga bulan sekali, bukan enam bulan seperti saat ini.

Guru TK yang upahnya kecil itu mampu bertahan terdorong rasa memiliki TK dan pengabdian. Sebab, TK merupakan pendidikan anak usia dini yang formal dan menjadi fondasi anak sebelum menjejakkan kaki ke sekolah dasar.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com