PASCAL BIN SAJU
Di Tawau, rombongan Komisi I yang dipimpin Hayono Isman menemui Konsulat RI Hadi Susanto. ”Persoalan itu benar-benar buruk dan tidak boleh dianggap sepele,” kata Fayakhun Andriadi, anggota Komisi I. Fayakhun mulai peduli terhadap kehidupan TKI setelah dia terpilih menjadi anggota legislatif mewakili daerah pemilihan luar negeri. Dia mengaku konstituen utamanya adalah TKI di sejumlah negara, termasuk di Malaysia. Dua anggota Komisi I DPR yang juga ikut ke Tawau adalah Tantowi Yahya dan Achmad Basarah. Jumlah TKI di Sabah saja sekitar 450.000 orang. Merujuk penjelasan Hadi Susanto, Fayakhun mengatakan, dari jumlah itu 318.000 di antaranya TKI ilegal. Mereka diberi upah mulai 300 ringgit (Rp 900.000) hingga 600 ringgit (1,8 juta) per bulan. Biaya sekolah 150 ringgit (Rp 400.000) per anak per bulan. Biaya sekolah itu sangat mahal bagi TKI yang umumnya mendapat upah rendah. Sebab, selain menyekolahkan anak, mereka juga harus memikirkan biaya sewa kontrakan dan kebutuhan sehari-hari lainnya. Akibatnya, ada 37.294 anak putus sekolah dan tidak bisa masuk sekolah atau terancam buta huruf. ”Jumlah anak tersebut belum termasuk yang tinggal di Serawak dan Semenanjung Malaysia. Pendidikan anak TKI ini harus menjadi perhatian serius,” jelas Fayakhun yang juga diamini Hayono Isman, Tantowi Yahya, dan Achmad Basarah. Di Sabah sebanyak 40-80 lokasi konsentrasi TKI terutama di perkebunan sawit. Namun, Hayono mengatakan, sekarang ada upaya terobosan dari Departemen Luar Negeri RI untuk mengatasi problem pendidikan anak TKI tersebut melalui Kedubes RI di Malaysia dan Konjen RI di Kinabalu. Langkah itu dimulai dengan melatih TKI yang tamat SLTA atau setingkat, lalu diangkat menjadi tutor dan dibekali modul pelajaran untuk sekolah dasar. Kemudian mereka diterjunkan ke wilayah konsentrasi TKI di perkebunan sawit seluruh Sabah. Setiap lokasi bisa terdiri dari 50-100 keluarga TKI.