Oleh: Subur Tjahjono
JAKARTA, KOMPAS.com - Kami dituntun belajar dengan disiplin berfikir yang ketat, Bersikap kritis terhadap fenomena, Dengan kwantifikasi yang kuat, Disiplin berfikir, sikap kritis dan kwantifikasi ini, Ke arah mana pun dapat dipergunakan, setiap saat dapat dipergunakan….
Baris-baris puisi penyair Drh Taufiq Ismail yang ditulis Juli 2009 itu memang seperti apologi, karena ia memilih karier sebagai dokter hewan ”nonmedis”. Akan tetapi, kata-kata ini mewakili perjalanan panjang profesi dokter hewan di Indonesia, yang genap seabad tahun 2010 ini.
Momen langka ini dirayakan Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) dengan sekaligus meluncurkan buku 100 Tahun Dokter Hewan di Indonesia di Balai Kartini, Jakarta, Sabtu (9/1/2010).
PDHI telah bekerja keras mengumpulkan data dan informasi yang terserak di seluruh Indonesia untuk menyusun buku setebal 456 halaman itu setahun terakhir. Buku ini menjadi semacam ”buku biru” dokter hewan Indonesia.
"Bagi yang senior, buku ini untuk nostalgia. Bagi dokter hewan muda, kami berharap jadi buku pegangan," ujar Drh Agus Suryanata, ketua tim penyusun buku tersebut, yang sehari-hari adalah Direktur PT Primaimas Citra, distributor obat hewan.
Drh Sri Dadi Wiryosuhanto, mantan Ketua Umum Pengurus Besar PDHI, yang juga editor buku itu, menuturkan, asal mula pendidikan dokter hewan di Indonesia dilatarbelakangi dua hal. Pertama, mewabahnya penyakit hewan pada masa penjajahan Hindia Belanda yang sulit teratasi karena terbatasnya dokter hewan. Kedua, didorong politik etis di Belanda oleh Ratu Wilhelmina.
Pada masa itu, Pemerintah Belanda mendatangkan dokter hewan dari Belanda. Dokter hewan Belanda yang pertama kali datang ke Hindia Belanda bernama R.A Copiters, tahun 1820. Namun, umumnya mereka adalah dokter hewan militer yang bertugas di kavaleri, pasukan berkuda tentara Belanda.
Pada abad ke-19 itu mulai muncul penyakit-penyakit hewan yang sebelumnya tidak dikenal di Belanda. Penyakit-penyakit menular itu adalah sampar sapi (rinderpest) yang pertama ditemukan tahun 1875.
Tahun 1884 muncul penyakit ngorok pada kerbau (Septichaemia epizootica) dan radang limpa pada sapi (anthrax). Tahun 1886 ditemukan penyakit mubeng atau surra pada kuda.
Tahun 1887 ditemukan lagi penyakit mulut dan kuku (Apthae epizootica) pada sapi. Penyakit mulut dan kuku (PMK) ini adalah yang terdahsyat karena menyebabkan kematian ribuan sapi waktu itu.
Percaya atau tidak, pemberantasan PMK memakan waktu 100 tahun dan baru tahun 1990 Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (Office International des Epizooties) menyatakan Indonesia telah bebas dari PMK.
Untuk mengatasi penyakit-penyakit tersebut, Pemerintah Belanda mendirikan sekolah dokter hewan di Surabaya tahun 1861, tetapi bubar tahun 1875. Tahun 1880, sempat pula didirikan sekolah dokter hewan oleh swasta, tetapi juga tutup tidak beberapa lama kemudian.
Karena penyakit hewan semakin mengkhawatirkan, anggota parlemen Belanda, Kuneman, pada 1892 mengusulkan agar pemerintah mencetak dokter hewan pribumi. Tahun 1893 sempat diupayakan Sekolah Dokter Hewan Pribumi di Surabaya, tetapi ditolak Pemerintah Belanda. Sekolah Dokter Hewan Pribumi (Inlandsche Veeartzen School) itu baru terwujud tahun 1906 di Bogor, Jawa Barat.
Tahun 1914, namanya menjadi Netherlands Inlandsche Veeartzen School. Sekolah ini ditutup tahun 1941 setelah menghasilkan 143 dokter hewan. Salah satu mahasiswanya adalah seorang laki-laki kelahiran Kakas, Minahasa, Sulawesi Utara, 30 Juni 1888, yaitu Johannes Alexander Kaligis. J.A Kaligis lulus tahun 1910.
"Tahun lulusnya menjadi pertanda 100 tahun dokter hewan Indonesia," kata Drh Sri Dadi.
Drh JA Kaligis selanjutnya bekerja di Balai Penyelidikan Penyakit Hewan (Veeartzenijkundige Institute) Bogor. Tahun 1918, Drh J.A Kaligis melanjutkan studi ke Faculteit Veeartzenijkundige Hoogeschool di Utrech, Belanda. Ia menulis skripsi tentang penyelidikan anaplasmosis pada sapi dan kerbau. Bersama Kaligis, ada tiga dokter hewan pribumi yang juga belajar di Utrech, yaitu FC Waworoentoe, Raden Soeratno, dan Mas Soetisno.
Kaligis bekerja di Den Haag, Belanda, sebagai penasihat dokter hewan Hindia Belanda. Drh JA Kaligis meninggal di De Bilt, Belanda, 31 Desember 1974. Namun, tahun 1980-an kerangka jenazahnya dipindahkan ke Minahasa.
Sekarang, sudah ribuan dokter hewan dilahirkan oleh paling tidak lima perguruan tinggi yang memiliki Fakultas Kedokteran Hewan (FKH), yaitu Universitas Syah Kuala, Banda Aceh, Institut Pertanian Bogor, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Universitas Airlangga, Surabaya, dan Universitas Udayana, Bali. Belakangan sejumlah perguruan tinggi mulai membuka FKH, seperti Universitas Brawijaya Malang dan Universitas Wijaya Kusuma Surabaya.
Dokter hewan Indonesia sudah bisa berbicara di tataran internasional. Di antaranya, Prof Drh Soeprawi, yang membuktikan penularan anthrax kepada manusia di Purwakarta tahun 1912 dan Pulau Roti 1922. Prof Dr Drh Tanjung Hadiwinata menemukan cacing Stephanofilaria, penyebab penyakit kaki gajah atau stephanofilariasis.
Ketua Umum PB PBHI Drh Wiwiek Bagja mencatat, ada 38 bidang yang bisa dimasuki profesi dokter hewan, antara lain teknologi pangan, perlindungan konsumen, legislasi, kesejahteraan hewan, karantina, perlindungan lingkungan, pengajaran, riset, pemasaran, ekonomi, dan publikasi.
Tahun 2010 ini, tantangan dokter hewan Indonesia semakin besar karena perdagangan bebas dunia mulai berlaku. Dokter hewan asing diperbolehkan bekerja di Indonesia. Untuk itu, PDHI bersama fakultas kedokteran hewan terus berupaya meningkatkan kualitas lulusan untuk bisa bersaing.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.