”Selama ini, setiap pendidikan tinggi kedinasan memiliki kekhasannya masing-masing. Jika diubah, kami takut bukan hanya kekhasannya ini yang hilang, tetapi juga tidak sesuai dengan tuntutan serta kebutuhan setiap kementerian,” ujar Sekretaris Jenderal Asosiasi Perguruan Tinggi Kedinasan Indonesia (APTKI) Wawan Heryana, yang juga Ketua Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) Bandung.
Pendapat senada dikemukakan Suryamin, Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Statistisk (STIS) Jakarta. Menurut dia, perguruan tinggi kedinasan yang memiliki kekhususan dibutuhkan untuk mendidik calon pegawai pemerintah secara spesifik yang sulit dipenuhi perguruan tinggi umum.
”Untuk pendidikan tinggi yang sangat khusus, tidak perlu diubah-ubah,” tegas Suryamin.
Ketua Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) Yogyakarta Endriatmo Sutarto mengatakan, pendidikan tinggi kedinasan, seperti STPN, mengajarkan bidang ilmu yang sangat unik dan spesifik yang tidak diperoleh di pendidikan tinggi umum.
”Kami tidak sepakat apabila pendidikan kedinasan didorong menjadi lembaga pendidikan umum. Meskipun jumlah lulusannya relatif sedikit, keahlian mereka yang spesifik dan unik sangat dibutuhkan institusi penyelenggara pelayanan publik,” kata Endriatmo.
Fasli Jalal, Wakil Menteri Pendidikan Nasional, mengatakan, pendidikan kedinasan di bawah instansi pemerintahan mesti menyesuaikan diri dengan ketentuan dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional.
”Jika ingin tetap mempertahankan pendidikan tinggi jenjang diploma hingga sarjana, pendidikan tinggi kedinasan mesti berubah menjadi badan hukum pendidikan pemerintah atau bekerja sama dengan perguruan tinggi umum sejenis,” ujarnya.
Ketentuan UU Sisdiknas menyebutkan, pendidikan kedinasan yang diakui pemerintah adalah pendidikan profesi, yaitu bentuk pendidikan tinggi setelah program sarjana. Ini diatur dalam Pasal 29 UU Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.