Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Penjiplakan dan Kultur Akademik

Kompas.com - 12/02/2010, 04:14 WIB

Saifur Rohman

Seorang profesor diduga melakukan penjiplakan terhadap karya orang lain. Peristiwa ini mencuat setelah The Jakarta Post menurunkan editorial yang berisi peringatan dan penyesalan atas kasus ini (4/2/10). Bila meneliti lebih jauh dua tulisan yang dipersoalkan dapat diketahui bahwa modusnya adalah mengganti nama penulis asli dengan namanya untuk dipublikasikan.

Dugaan itu kiranya pantas diajukan karena berdasarkan teori kemungkinan, kesamaan tema bisa saja terjadi, tetapi kesamaan struktur kalimat, titik koma, dan paragraf adalah sesuatu yang tidak mungkin. Akibatnya, pada 8 Februari 2010 dia mengundurkan diri dari institusi tempat dia melaksanakan tridarma perguruan tinggi. Jabatan fungsional sebagai guru besar terancam dicabut karena dianggap melakukan ”pelanggaran serius” dalam etika akademik.

Pertanyaan etis yang segera muncul dalam kasus ini, bagaimana keputusan terbaik yang paling mungkin untuk kebaikan bersama? Jawabannya tidak bisa dilepaskan dari pertanyaan lanjutan; seberapa besar akibat dari keputusan tersebut bagi pengembangan dunia pendidikan kita? Tulisan ini tidak bermaksud membahas tulisan jiplakan, tetapi menawarkan keputusan etis yang paling masuk akal.

Keutamaan dan kebenaran

Teori etika yang dapat diringkas selama 2.500 tahun bertujuan menyibak keutamaan (Yunani: arete) dalam tindakan seseorang. Aristoteles dalam Nicomachean Ethics sudah jelas memberikan keterangan, ”Arete adalah keluhuran yang berpangkal pada setiap tindakan seseorang dan oleh karenanya keluhuran masing-masing akan berbeda” (1104b15). Keutamaan seorang prajurit adalah keberanian, berbeda dengan pemimpin yang mengutamakan keadilan. Teoremanya jelas, jika pemimpin kehilangan keadilan, dia kehilangan keutamaan.

Kaitannya dengan dunia akademik, keutamaan seorang akademisi adalah penyampaian kebenaran secara gamblang dan rinci (clara et distincta). Itulah kenapa ada julukan intelektual pelacur bilamana seorang akademisi telah berani memanipulasi kebenaran ilmiah untuk memperkaya diri.

Ada intelektual selebriti karena memanipulasi kebenaran agar bisa terkenal. Ada intelektual tukang karena memanfaatkan kebenaran ilmiah berdasarkan pesanan. Ada intelektual asu (dari bahasa arab, ’’as-Syu’’, buruk) karena menjadikan kebenaran sebagai budak kekuasaan.

Selama ini, kebenaran akademik selalu dimaknai hanya sebagai kebenaran ilmiah. Kajian- kajian dari filsafat ilmu memberikan keterangan, kebenaran ilmiah bisa memperoleh makna keabsahan sekurang-kurangnya didasarkan pada dua hal. Pertama, kebenaran koherensial yang menuntut suatu pernyataan ilmiah mesti sesuai dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya.

Kedua, kebenaran korespondensial, artinya pernyataan ilmiah haruslah memperoleh konfirmasi faktual sehingga bisa dikatakan sahih.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com